Sabtu, 24 Desember 2016

Puisi Saat Hujan

Saat Hujan

Aku menantimu ketika hujan
Dengan payung yang terlipat di tanganku
Meski rintiknya semakin deras

Rabu, 14 Desember 2016

, , ,

Di Manakah Damai?


Bising. Suara-suara itu seperti monster yang sedang bertengkar, entah memperebutkan apa? Gaduh dan berantakan. Knalpot-knalpot kendaraan, deru mesin yang kasar dan menyebalkan. Berisik, berdengung seperti rumah-rumah lebah yang bergelantungan.

Tapi mama papaku telah memilih tempat ini sebagai sarang: tempat tinggal sekaligus workshop-nya. Tepi jalan yang menghasilkan uang memang. Tapi untukku adalah sumber penyakit. Pusing dan capek. Penyakit itu sepertinya terlalu sering datang padaku, entah karena bising kendaraan atau karena bising ortuku yang seringkali kudengar tiap malam.

Mamaku sering kudengar menangis. Sebuah tamparan yang menggetarkan kudengar suatu malam. Lalu suara lirih tertahan keluar dari mulut mama. Dari papaku terdengar juga suara minta maaf yang berat. Paginya, mamaku berubah jadi robot. Segala sesuatu dikerjakan tanpa banyak bicara, cepat namun tidak juga tergesa. Sarapan pagi kami, kopi pahit papa. Segalanya malah lebih terlihat rapi meski dikerjakan dengan mulut membisu, tanpa sedikitpun minta bantuan kami. Mungkin hatinya telah dibunuhnya sendiri, membiarkan segalanya datang dan pergi tanpa permisi. Tapi kehampaan jelas kulihat di raut mukanya.
, ,

Matahari


Matahari tersenyum di tengah jarum jam pukul dua belas. Keringat di musim panas itu mulai mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kakinya yang kuat menapaki jalan dengan gendongan yang membulat dipunggungnya. Nenek tua itu tampak kelelahan. di bawah pohon jambu yang rindang Ia beristirahat. Wajahnya nampak pucat. Ia meneguk air minum dari botol yang mirip Aqua. Sampai langit berwarna kuning kemerahan, barulah Ia melanjutkan perjalanannya.

Tubuhnya yang kuat terlihat sedikit membungkuk akibat gendongan baju yang cukup berat. Demi sesuap nasi dan cucu kesayangannya. Ia tersenyum menikmati kehidupannya. Baginya matahari adalah sahabat lamanya. 
, , ,

Apa Yang Salah Dengan Cinta Ini?



Kuharap secangkir kopi sore ini dapat sedikit menenangkan pikiranku yang masih kalut setelah perdebatan sengit dengan sahabatku beberapa waktu lalu, hingga sekarang masih terbayang jelas.

"Seharusnya kamu putusin Arva dari dulu," bentak Me.
"Nggak segampang itu Me," sangkalku, "Banyak hal yang udah dia lakuin untuk keluargaku," aku tercekat, "Aku mencintainya. Maafin aku, Me."

Seketika kamarku hening. Hanya suara isak tangisku dan deru nafasnya. Setidaknya aku tahu kalau dia masih hidup setelah serangan jantung beberapa saat. Deg.
, , ,

Titik


Apakah kamu pernah merasakan dinginnya air hujan? Jika pernah seperti itulah aku. aku layaknya titik di sebuah paragaf. Aku tidak sendiri, temanku banyak dan kami selalu bersama. Meski jumlah kami sangat banyak. Tak jarang kami diabaikan karna kami hanya segerombolan titik yang terlihat mencair dan beku.

Manusia hitam itu memaksaku keluar dari tempat persembunyian. Tempat persembunyianku sangat gelap, mungkin dulu manusia sepertimu pernah tinggal di sana. Tapi aku tidak berbentuk manusia. Aku hanya titik yang bergerombolan dengan titik-titik yang lain.
, ,

Mematung


Aku sempat bertanya-tanya dengan apa yang berada di sampingku saat ini. Seperti benda mati, tetapi sangat menyerupai makhluk hidup. Jangan-jangan... ini kamu? Atau dia? Sepuluh menit lebih aku bergulat dengan perasaan dan pikiran . Berkarat dan gersang. 
"Apa ini? Ia memiliki mata!" seruku dalam hati. Benarkah itu mata? Tapi ia tak mengerling, tak sudi menatapku walau hanya sedetik saja.

Sabtu, 10 Desember 2016

, , , , , ,

Bayang-bayang Terakhir

 Oleh : Alvi Zahra Al-Alvia


Kulihat bayang-bayang muncul dari sebuah persegi tipis
tidak gelap, tidak putih
Kutengok kuperhatikan lamat
Ada keseruan, keramaian, dan kelucuan di sana
Bayang-bayangnya sungguh menghibur

Aku melihat bayang-bayang di lain waktu
Ada sentuhan, ada rayuan, ada pula kekerasan
Ingin segera kututup mata, tapi tak kuasa
Syaraf otakku terhipnotis olehnya

Jumat, 09 Desember 2016

, ,

Setelah Hitam Berganti Biru


Aku menutup Buku Biru yang sudah dua tahun mendokumentasikan segala kisah tentangku. Tangis, tawa, susah dan bahagia menjadi pelajaran hidup yang tidak bisa dihitung dengan rupiah.

Buku Biru dikenalkan Hitam kepadaku sebagai teman bercerita, teman berkeluh kesah, dan teman beradu pendapat setelah ia pergi tanpa pamit. Status kekasih yang berubah menjadi mantan mungkin membuat ia terlampau sakit.

Sebagaimana aku yang juga sakit. Hampir setiap malam aku menulis sebait kisah, kemudian berbincang dengan Buku Biru. Bagiku, Buku Biru memiliki nyawa dan sosok yang sama seperti Hitam. Ia adalah tempat yang nyaman untuk bersandar dari segala lelah. Ia juga teman yang romantis untuk diajak bersama memandangi bintang di langit.

“Tulis saja apa yang kamu inginkan di buku ini, suatu saat kamu pasti akan mendapatkannya,” kata si Buku Biru kepadaku.

Aku mengerutkan dahi, berpikir memberikan gagasan yang logis, “Aku hanya ingin Hitam, mana bisa buku mewujudkan impian jika kita tidak berusaha.”

Entah takdir apa yang terjadi. Aku melihat Hitam tersenyum, memegang tanganku, memberikan buku biru dan pensil biru sampai aku benar-benar menggenggamnya. Kelak aku akan tahu, dia hanya ingin aku melangkah dengan teratur dan pasti. Mencatat setiap resolusi hidup yang aku bangun, kemudian belajar membuat keputusanku sendiri.


Ditulis oleh: Sinna Sa'idah AZ.

*Tulisan ini untuh memeriahkan #Event_Juang1 #FiksiMini (Kontes menulis khusus bagi peserta AMJ)
, , ,

Berakhirnya Cinta Sejati


Kupikir sudah tiba saatnya aku bercerita tentang mimpi demi mimpi yang pernah datang itu. Mimpi yang selama ini hanya aku dan Tuhan yang tahu. Mimpi yang hadir di saat aku merasa begitu jatuh di palung laut terdalam. Mimpi yang aneh, entah mengapa aku merasa itu bukan mimpi biasa, bukan pula sekedar mimpi seorang gadis yang sedang patah hati.

Kupikir sudah saatnya aku sampaikan padamu, agar aku merasa lega. Ya, kurasa itu alasan paling tepat. Meski terbersit sedikit rasa bangga karena ternyata ada ikatan batin yang begitu erat antara kita. Siapa tahu dengan mendengar mimpiku, kau akan terhibur. Tak melulu menangisi putusnya hubunganmu dengan calon istrimu.
, , ,

Keajaiban Tuhan


Saat aku tahu dokter mendiagnosisku terkena kanker kulit. Hatiku hancur lebur, aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan, aku merasa aku orang yang paling sial di dunia.
“Kenapa harus aku, Tuhan?” gerutuku dalam hati.

Bahkan, berhari-hari aku tidak keluar kamar. Aku bertekad aku akan mewujudkan cita-citaku untuk mengunjungi tujuh keajaiban dunia sebelum aku mati. Ini memang konyol bukan? kebanyakan penderita kanker pasti sibuk mencari jalan alternatif pengobatan, bahkan ada yang mencoba bertaubat. Namun, tidak denganku. Aku harus berjuang melawan penyakit mematikan ini. Aku memang dikenal perempuan yang berani. Hobiku memanjat tebing-tebing yang curam, dan mendaki gunung. Aku tahu usiaku tidak lama lagi. 
, , ,

Butiran Tasbih Tukang Sapu



Aku di pinggiran jalan sendiri berdiri sambil menunggu bis. Sorot mataku lurus tertuju pada perempuan paruh baya di seberang jalan sana. Terlihat dengan khusyu' ia menyapu setiap lembaran sampah yang berserakan. Sesekali ia mengelap keringat di dahi dengan handuk kecil yang disampirkan di belakang leher.

Terik mentari yang menyengat tidak menghanguskan semangatnya. Ia selalu melempar senyum kepada orang-orang yang lewat. Kendaraan yang melaju begitu kencang seringkali membuat sampah-sampah yang telah dikumpulkannya kembali berhamburan. Wajahnya malah tersenyum. Ia mengumpulkan lagi satu-persatu sampah tadi dengan sapu lidi.
, , ,

Agama Baru

Ilustrasi, mencari yang baru, search image here.

"Berlutut!" kata Mia mengulangi disertai pandangan merobek jantung. "Berlutut dan meminta maaf di sana. Dengan begitu aku akan mengampunimu."
-
Mendapat tekanan besar, ditatap lurus seperti itu Mersi bergeming. 
-
"Kenapa? Kau merasa harga dirimu jatuh? Baiklah, kalau begitu aku akan membawa kasus ini ke pengadilan." 
Mersi menggigit bibir bawah, matanya memanas, perlahan ia menekuk kaki. Buku-buku jari miliknya terasa kebas, kemudian menjalar ke seluruh tubuh."
, , ,

Natasya


"Aku tau kau akan datang esok pagi, aku hanya berharap Tuhan mengantarmu datang,lalu menjagaku."

Aku berusaha secepat mungkin sampai di Semarang sebelum malam menjelang. Bus yang aku tumpangi dari Surabaya terus melaju menuju kota Semarang.

"Ah, ayolah Pak Sopir, buruan!" gerutuku dalam hati ketika laju bus berjalan pelan.

Wajah Natasya selalu membayangiku senyumannya yang selalu membuat aku merindukan saat-saat bersamanya.

Yah, dia Natasya, seorang gadis yang harus berjuang melawan penyakit kangker otak yang bersarang di kepalanya.

Kamis, 08 Desember 2016

, , , , , , ,

Penulisan Judul yang Benar

Foto bersama sebelum pulang😍




Readers...
Maafin mimin baru sempat posting lagi. Sungguh maafkan.

Jadi pada hari Sabtu, 26-11-16 lalu, kelas diisi dengan agenda mengupas salah satu cerpen anggota kita yang bertajuk "Jumini" buah karya saudari Murni Newewe.

Cerita pendek yang mengisahkan seorang perempuan bernama Jumini tengah berjuang melewati cobaan diselingkuhi suami. Ia berupaya mempertahankan rumahtangganya biar apa pun yang terjadi. Namun ujian datang bertubi-tubi, seakan Tuhan benar-benar tak ingin Jumini jauh dari-Nya.
Kurang lebih kesalahan yang perlu diperbaiki adalah masih adanya beberapa kalimat kurang efektif, kemudian sedikit kata tidak sesuai ejaan bahasa Indonesia, bagian opening dan ending juga disebut-sebut kurang memikat. (Untuk mengupas tips opening dan ending yang memikat akan dibahas di lain waktu)
Namun, ide yang diangkat dalam cerita Jumini cukup baik; unik, berkarakter kuat, serta dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Member mendiskusikan cerpen "Jumini"

Sempat juga dipertanyakan kenapa judulnya Jumini? Bukan yang lain, atau minimal ditambahin beberapa kata. Misalnya, Jumini dan Saputangan Kenangan, atau Kekuatan Terpendam Jumini, jangan satu tok. Hal itu dijawab santai penulisnya, "Karena suka aja, kayak unik gitu, boleh, kan?"

Minggu, 04 Desember 2016

, ,

Sepapan Kehidupan


Ilustrasi, Kakung. Search image, here.

Mengantarkan satu biji nangka ke dalam mulut dan menubruk sebingkai foto lawas hitam putih membawa Kakung pada kenangan.

"Mana uangnya, Pak?" sembari menengadahkan tangan.
"Maaf Bu, belum dikasih upah hari ini," segenap kelelahan alam raya menempel di wajahnya.
"Gimana tho Pak, Ibu sudah punya utang, malu Pak."
, , , ,

RASA TAKUT AKAN PENDERITAAN ITU LEBIH BURUK DARI PENDERITAAN ITU SENDIRI

Ilustrasi rasa takut, search image here

Dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, aku paling takut jika sudah waktunya datang yang namanya kunjungan "cutat", menyuntikan imun ke dalam tubuh (entah kalau di tempatmu apa namanya, imunisasi?). Tentu saja itu nampak mengerikan. Kau bisa bayangkan jarum segede itu menembus kulitmu. Maka jika petugas berbaju serba putih itu datang ke sekolah, aku dan teman-temanku sepakat untuk kabur dari sekolah.

Tentu kata kabur itu tidak semudah yang kita ucapkan. Pertama, petugas "cutat" itu datang secara mendadak, saat jam pelajaran tanpa kita sadari. Kedua, masyarakat sudah bersekongkol dengan pihak sekolah jika melihat kami kabur dari sekolah mereka wajib menggelandang kami ke sekolah.

Kata kakak-kakak kelas, "cutat" itu sangat menyakitkan, sakitnya bahkan bisa bertahan sampai berminggu-minggu. Membuat lenganmu bengkak. Aku membayangkan saja sudah ketakutan. Bagaimanapun aku dan teman-temanku harus kabur.
, ,

Harga Sebuah Restu

Ilustrasi jodoh, search image here

Aku baru saja menemukan kebahagiaan saat Mas Bambang mengatakan telah mendapat restu. Tidak mudah mendapatkannya. Banyak hal yang harus diperjuangkan. Misal, Mas Bams harus melewatkan waktu istirahat, mengabaikan jari-jari, bahkan kepalanya. Jangan heran dengan hal-hal yang aku sebutkan. Sebentar lagi kalian akan mengangguk mengerti.

Kakak tertuaku seorang desainer, agar menarik perhatiannya Mas Bams rela menuruti permintaan menjahit gaun pakai tangan. Permintaan konyol, tapi tetap dilakukan. Terkadang jarinya tertusuk jarum.

Kakakku yang nomor dua seorang koki, ia suka sekali menyuruh Mas Bams memasak di restoran miliknya.

Sedangkan kakak nomor tiga seorang polisi, dan biasanya Mas Bams menjadi latihan sasaran objek tembak. Sadis memang, tapi inilah wujud kekhawatiran mereka.
, , ,

Amanita Muskaria

Ilustrasi Amanita Muskaria, search image here

Ia membanting pintu besi begitu lemah. Tidak ada suara keluar seperti desingan peluru. Wajahnya terlihat pucat bersamaan kantung mata coklat kehitaman. Ia berlari dengan tubuh limbung. Beberapa kali menoleh ke belakang. Seakan ada sesuatu menakutkan tengah mengejarnya.

Di pinggiran jalan ia berhenti. Lampu-lampu menggantung seolah menghakiminya. Warna api. Sangat panas. Dan ia merasa ciut jika tubuhnya terlumat di atasnya. Agak bingung. Sorot mata tak ubahnya lampu mercusuar—mengamati klub malam yang beberapa hari lalu ditutup paksa. Sebuah papan, agak samar terlihat seolah membuat dirinya—huruf-huruf itu bergerak sembarang.
, , , ,

Perempuan Cermin

Perempuan cermin, search image here

Aku sudah terbiasa hidup dalam cermin. Mulanya aku menggunakan cermin sebagai tempatku bersembunyi dari kemarahan Ayah. Ayah tidak dapat menemukanku di dalam cermin. Berbeda dengan Ibu, ia dapat melihatku. Dengan wajah penuh lebam Ibu menangis dan menyuruhku bersembunyi dalam cermin. Bahkan sebelum kematiannya Ibu berwasiat agar aku tetap hidup di dalam cermin, bersembunyi dari Ayah yang kejam. Mulai saat itu cermin menjadi rumah bagiku.

Aku menemukan segalanya dari cermin. Aku melihat semua kepura-puraan manusia dengan cinta rupa kata tak bermakna. Aku tertawa bak anak kecil yang bermain dengan kawan sebayanya. Melihat kelucuan manusia membuatku enggan keluar dari cermin. Aku juga enggan merasakan cinta yang kupercayai sebagai sebuah kebohongan. Aku tak ingin berjodoh sampai benar-benar kutemukan lelaki yang dapat menjadi cermin bagiku.

Kamis, 01 Desember 2016

Titi Mangsa



Kau tahu, belakangan ini aku bekerja keras melawan
Melawan rasa manja
Kusuruh wall facebook menyampaikan kepadamu
Meminta sejenak engkau pergi
Tapi tetap saja kau bandel, bergelayut melingkar di leherku
Seperti tangan kekasih hati yang rindu menahun tak kunjung berpaut
Kau merajuk tak mau tahu

Ya sudah, mau dikata apa lagi?
Aku menyerah
Kubiarkan saja mulutmu yang lembut terus berucap panas
Jangan aku kau tinggalkan, pintamu
Aku manja, yang membuat matamu sayu tanganmu lunglai dan nadimu berirama
Dangdut

Dung dung desss

Kembang kampung, 2 desember 2016

Senin, 21 November 2016

Ulang Tahun
Oleh : Dianatus S



Terrantai jemariku bersama bolpoin hitam ini
Ketika mentari tersenyum dan pagi menjadi kagum
Kepada hari di mana matahari sedang mesra bersama angkasa


Kemudian senja pulang begitu gembira
Lalu malam bahagia dengan bulan dan bintang


Demikian, tersusunlah kalimat sederhana ini
Entah puisi
Entah syair
Entah apa


Aku tak mengerti
Yang pasti
Dari sini...
Dari hati...
Kuucapkan selamat ulang tahun hanya buatmu, Kekasih

Jepara, Beberapa Tahun Lalu

Puisi ini dibuat atas permintaan seorang teman. Sebagai ungkapan cinta kepada kekasihnya. Saat ini mereka sudah memiliki buah cintanya. (Mimin kapan ya...? Hiks!)
, , ,

Aku Hanya Seorang Pria Kesepian

Dokumen isimewa

Sepi, kujalani hari-hari
Pagi, siang, malam, terasa sunyi
Seperti hujan tanpa pelangi
Bagai malam tak berembulan. 

Kawan, kadang aku bertindak gila di depanmu
Berbuat onar, jahil tak karuan
Semata hanya untuk membuat kalian senang
Agar kalian tak meninggalkanku
Karena aku tak sanggup hidup sendiri

Selasa, 15 November 2016

, , , , , , , ,

Ketika Pemateri Tidak Ada, Ini yang Terjadi


Salah satu anak AMJ memaparkan projec yang sedang dikerjakan.


Adakah yang sedang menunggu tulisan mimin? Duh, maaf ya, seharusnya hari Minggu kemarin diposting, berhubung saat itu mimin sedang bertolak ke luar kota, (Halah, sok sibuk) jadi baru bisa posting materi kelas AMJ pada Sabtu, minggu kedua di bulan sebelas, sekarang. Ada yang sedikit berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya. Kalau hari-hari biasa ada Kartika Catur Pelita atau Adi Zamzam, dua guru besar AMJ yang sudah lama berkecimpung dunia tulis-menulis, mengisi materi, kala itu tidak. Mereka sedang ada urusan di luar kota.

Senin, 14 November 2016

, , , , , , , , , , ,

Menulis itu Penting


Pak Edi Mulyono dan crew AMJ

Hai, sahabat AMJ... 

Di kampus fiksi (KF) kemarin, big bos Diva Perss, Bapak Edi Mulyono memberikan materi yang cukup menarik loh.  Tapi tenang, bagi yang tidak hadir, Mimin udah pilah-pilah yang penting kok. Ini khusus buat apara AMJ lover yang ingin belajar menulis juga. 

Pak Edi semangat banget ngasih materi... 

Ini nih, beberapa poin penting dari penjelasan Bapak Edi Mulyono yang sudah di rangkai sedemikian rupa oleh para mimin AMJ.

, , , , , , , ,

Penulis Itu Harus Menerima Kritikan Dan Belajar

Reza Nufa, Editor penerbit basabasi

Hai, Readers ... kali ini Mimin mau review acara lho. Acara? Yes! Kemarin, tanggal 13 November 2016 tim Akademi Menulis Jepara (AMJ) menghadiri acara kampus fiksi Divapress di Semarang. Tepatnya di gedung wanita, jalan Sriwijaya Semarang.

Di acara ini pemateri pertama dari penerbit basabasi kalau gak salah namanya Reza. Tapi kalau manggil dia harus Mas aja ya ... jangan Pak. Soalnya masih single. 😂😂😂.

Novel pertama yang Reza baca itu "Ayat-ayat Cinta". Si Reza berpikir cerita fiksi adalah hal yang nyata dan dia percaya hihi. Dari novel itu si Reza belajar memahami titik, koma, tanda-tanda kalimat, EYD, pokoknya yang berkaitan dengan teknik penulisan deh. Dan ini patut dicontoh ya, Readers. Kita harus belajar dari naskah orang lain 😝😝. Ingat belajar ya, bukan menjiplak. 😈😈

Rabu, 09 November 2016

Sebuah Kisah Tentang Sapu Terbang


Mitos Sapu Terbang
Oleh : Alvi Zahra Al-Alvia
Google.com

Kalian percaya sapu bisa terbang? Di desaku masih banyak yang memercayainya. Hal ini bermula sejak kejadian berpuluh-puluh tahun lalu. Saat itu matahari masih malu menunjukkan wajahnya. Yang tampak hanya separuh, tetapi ada seorang gadis muda berani melihat benda bulat itu tanpa takut. Tidak hanya saja melihatnya, gadis itu juga tengah membawa sapu ijuk di tangan kirinya. Yah, dia ingin menyapu halaman rumah. Halaman yang hanya berisi tanaman cabai dan tomat. 

Selasa, 08 November 2016

, , , , , , , , ,

Lebah-lebah Yang Sombong

Oleh : Alvi Zahra Al-Alvia
            @alvizza


Di suatu hutan nan indah hiduplah sekawanan lebah yang sangat sombong. Lebah-lebah itu suka sekali menghina semut, keong, dan hewan-hewan kecil lainnya. Bahkan lebah-lebah itu tidak akan ragu menyerang binatang besar yang tidak mereka sukai. Lebah-lebah ini merasa bahwa mereka adalah yang paling kuat dan pintar diantara binatang-binatang yang lain.