Minggu, 04 Desember 2016

Filled Under: , ,

Harga Sebuah Restu

Ilustrasi jodoh, search image here

Aku baru saja menemukan kebahagiaan saat Mas Bambang mengatakan telah mendapat restu. Tidak mudah mendapatkannya. Banyak hal yang harus diperjuangkan. Misal, Mas Bams harus melewatkan waktu istirahat, mengabaikan jari-jari, bahkan kepalanya. Jangan heran dengan hal-hal yang aku sebutkan. Sebentar lagi kalian akan mengangguk mengerti.

Kakak tertuaku seorang desainer, agar menarik perhatiannya Mas Bams rela menuruti permintaan menjahit gaun pakai tangan. Permintaan konyol, tapi tetap dilakukan. Terkadang jarinya tertusuk jarum.

Kakakku yang nomor dua seorang koki, ia suka sekali menyuruh Mas Bams memasak di restoran miliknya.

Sedangkan kakak nomor tiga seorang polisi, dan biasanya Mas Bams menjadi latihan sasaran objek tembak. Sadis memang, tapi inilah wujud kekhawatiran mereka.

Kakakku belum ada yang menikah.

Sepeninggal ayah dan ibu dua puluh tahun lalu, mereka berjanji tidak menikah sebelum aku dilamar laki-laki yang tepat. Mereka mengorbankan segalanya demi diriku. Bambang sudah berjuang menikahiku, tapi sayang, semudah itu dia pun "pergi".

"Bagaimana, Kak? Lolos?"

"Hampir," Kak Leon berkata pelan. Telunjuknya mengarah ke balik tirai. "Kau lihat saja sendiri."

Aku mencoret nama Bams dari list. "Ini sudah yang ke seratus, Kak."

"Sepertinya kau harus menunda pernikahan sedikit lebih lama lagi. Sekarang kita nikmati daging segar manusia bodoh itu."


Alvi Zahra Alvia, ‎Bangsri, November 2016

*Tulisan ini diikut sertakan dalam #Event_Juang1 #FiksiMini (Kontes menulis khusus bagi peserta AMJ)

2 komentar: