Rabu, 14 Desember 2016

Filled Under: , , ,

Di Manakah Damai?


Bising. Suara-suara itu seperti monster yang sedang bertengkar, entah memperebutkan apa? Gaduh dan berantakan. Knalpot-knalpot kendaraan, deru mesin yang kasar dan menyebalkan. Berisik, berdengung seperti rumah-rumah lebah yang bergelantungan.

Tapi mama papaku telah memilih tempat ini sebagai sarang: tempat tinggal sekaligus workshop-nya. Tepi jalan yang menghasilkan uang memang. Tapi untukku adalah sumber penyakit. Pusing dan capek. Penyakit itu sepertinya terlalu sering datang padaku, entah karena bising kendaraan atau karena bising ortuku yang seringkali kudengar tiap malam.

Mamaku sering kudengar menangis. Sebuah tamparan yang menggetarkan kudengar suatu malam. Lalu suara lirih tertahan keluar dari mulut mama. Dari papaku terdengar juga suara minta maaf yang berat. Paginya, mamaku berubah jadi robot. Segala sesuatu dikerjakan tanpa banyak bicara, cepat namun tidak juga tergesa. Sarapan pagi kami, kopi pahit papa. Segalanya malah lebih terlihat rapi meski dikerjakan dengan mulut membisu, tanpa sedikitpun minta bantuan kami. Mungkin hatinya telah dibunuhnya sendiri, membiarkan segalanya datang dan pergi tanpa permisi. Tapi kehampaan jelas kulihat di raut mukanya.
Lama-lama gaduh pertengkaran mereka kuanggap musik. Musik malam yang melodinya menyayat-sayat hatiku yang masih perawan. Musik malamku yang khas itu juga telah menyisakan pahatan-pahatan di pergelangan tanganku. Ahh barang tipis tajam itu telah beberapa kali kutempel melintang di daging tanganku. Cairan merah kulihat saja dengan senyum puas. Semakin mereka gaduh semakin kutambah. Mamaku tak pernah tahu, tanganku selalu penuh dengan gelang-gelang dan pernak-pernik yang sengaja kupakai supaya luka-luka itu bisa kusembunyikan.

Setiap melihat guratan itu, seperti kumembuka catatan-catatan seram yang menyakiti jiwa kecilku. Malam ini tak ingin ku ulang lagi. Kuberanikan diri melawannya. Aku ingin mencari obatnya pada Mama. Aku nggak mau melukis pahatan keparat itu lagi. Cukup. Mamaku pasti bisa menyelesaikan. Pasti itu. Mamaku pasti punya segudang wejangan yang mendamaikan. Aku menghampirinya penuh harap.

Di kamarnya Mama sedang menyisir rambut panjangnya pelan-pelan. Rambut menggagumkan, ikal bergelombang, selalu wangi karena perawatan sederhananya. Minum jus daging lidah buaya saja beberapa kali dalam seminggu. Sesekali diolesi minyak kemiri. Tidak ada yang tak rapi dari mamaku, kecuali mungkin suasana hatinya.Sudahlah, aku tak peduli. Seorang Mama harus selalu mau mendengar keluhan putrinya,apalagi aku anak satu-satunya. Aku menghampirinya dengan senyum manjaku. Senyum yang sudah lama kupendam karena pura-pura dewasa dan bisa mengatasi segala masalah sendiri. Dulu, aku berlagak sok bahagia di sekolah, penuh canda dengan teman-temanku, sesekali kubayari mereka makan di kantin. Uang sakuku terbilang cukup besar dibanding teman-teman yang lain. Namun, begitu hatiku tak pernah merasa gembira jika tak kubagi dengan 
mereka. Ayoo habiskan, begitu teriak hatiku. Kuingat mamaku yang disiplin uang juga tak pernah menanyakan sisa . Kubelikan apa. Papa apalagi.

Begitulah, tapi malam ini aku ingin jujur dengan semua kehambaran itu. Aku ingin menjadi anak biasa yang merengek-rengek kekurangan perhatian.

“Kemarilah, mulai hari ini enggak lagi yang harus serius dipikirkan. Kita nggak boleh membuang energi untuk sesuatu yang tidak berguna, Sayangku,” jemarinya yang lembut menyentuh pergelangan tanganku. Senyum dan kata-katanya langsung mengusir pusing-pusing di kepalaku. Kenapa tak dari dulu Mama berkata seperti itu padaku. Aku merasa bodoh dan rugi.

Mama mengajakku ke mall, nongkrong di cafe sambil dengerin musik-musik jazz. Memesan kopi yang full cokelat kental di dalamnya. Seperti menikmati es cream tapi hangat. Memesan pizza vegetarian yang full mozarella. Setelah puas kami berburu baju di gondola-gondola yang disiapkan mall untuk mengoda para perempuan tak peduli berapa umurnya. Mamaku menemukan sebuah gaun pesta, besok-besok ada undangan pernikahan di adik temannya tuturnya. Kupenuhi keranjang dengan cemilan dan softdrink juga kotak coklat-coklat besar.

Mama masih cantik dan baik, tapi entahlah apa yang kurang darinya sebagai istri. Mungkin hanya papaku yang tahu.

Seperti juga malam ini, mamaku berkata sambil memerah matanya. Butiran bening mendesak-desak di kelopak matanya. Ingin aku membendungnya dengan senyumku, tapi kalah cepat lajunya.
“Papamu, Ra. Semua sudah jelas,” mamaku berbicara pendek dan hampir tak tertangkap kupingku. Jelas yang mana? Aku malah tdak jelas, namun juga tak kuasa memberi pertanyaan apapun. Dadaku berasa berdetak, kerongkonganku panas. Aku benar-benar buta. Apa gerangan terjadi dengan mereka, apa papaku punya seseorang di luar sana, atau. Mungkin papaku sekarang kembali lebih memperhatikan Mama, atau apa, apa..?

Aku hanya bisa bahagia bila itu terjadi. Gaun yang tadi siang dibeli, dipakainya dengan bangga.
“Mama masih sexy ya, Ra?” Aku dipeluknya dengan erat. Daguku susah menggangguk dalam pelukknya. Mama berpesan, mulai besok aku boleh main sesukaku. Aku juga boleh membawa banyak temanku, biar gaduh dan berantakan seisi rumahku. Umurku yang masih belasan awal memang masih suka tidak memperdulikan kerapian. Bungkus dan sisa-sisa makanan yang tergeletak berserakan seringkali bikin Mama geleng-geleng kepala.

“Boleh Sayang, boleh,” kata Mama berulang-ulang, karena mataku masih saja menggambarkan ketidakpercayaan. Aku melompat kegirangan. Mama telah berubah. Mama tak sepelit dulu. Berkali-kali kuucap terimakasih padanya.

Hari-hari berikutnya, entah kenapa, mama memintaku kamar kami bersatu . Alasannya Papa sering sibuk dengan pekerjaannya. Pergi dan tidak pasti datangnya. Mama nggak mau sendirian. Kami bercerita apa saja sambil kadang terpingkal-pingkal. Tertawa mamaku begitu lepas, dan keras. Padahal kupikir cerita yang kita bahas tidak sedemikian lucu.

Lambat laun kutahu, tidak semudah mendirikan bangunan rumahku yang besar dan mewah. Segalanya cepat selesai dengan uang papaku yang banyak.

Menyatukan jiwa haruslah berjuang lebih lama, menyatukan hati haruslah mengesampingkan emosi.Tapi nyatanya juga tidak cukup hanya itu. Karena terbukti Papa dan mamaku terpisah meski sudah lima belas tahun menikah. Entah karena apa aku tak pernah sanggup bertanya pada Mama. Belakangan hanya sering kulihat mamaku melamun di bangku taman belakang. Atau sibuk menerima telepon seseorang entah siapa. Dan aku sendiri akan belajar mencari tahu seiring waktu yang mendewasakanku. Semoga engkau bahagia Mama, aku putrimu yang tidak banyak berani bertanya. Hanya bisa berdoa.


Ditulis oleh: Murni Newewe 


*Tulisan ini untuk memeriahkan #Event_Juang1 #FiksiMini (Kontes menulis khusus bagi peserta AMJ)

0 komentar:

Posting Komentar