Minggu, 04 Desember 2016

Filled Under: , , ,

Amanita Muskaria

Ilustrasi Amanita Muskaria, search image here

Ia membanting pintu besi begitu lemah. Tidak ada suara keluar seperti desingan peluru. Wajahnya terlihat pucat bersamaan kantung mata coklat kehitaman. Ia berlari dengan tubuh limbung. Beberapa kali menoleh ke belakang. Seakan ada sesuatu menakutkan tengah mengejarnya.

Di pinggiran jalan ia berhenti. Lampu-lampu menggantung seolah menghakiminya. Warna api. Sangat panas. Dan ia merasa ciut jika tubuhnya terlumat di atasnya. Agak bingung. Sorot mata tak ubahnya lampu mercusuar—mengamati klub malam yang beberapa hari lalu ditutup paksa. Sebuah papan, agak samar terlihat seolah membuat dirinya—huruf-huruf itu bergerak sembarang.

Membentuk sebuah nama yang telah melahirkannya. Ia kaget. Kakinya mundur beberapa langkah.
Matanya terbelalak. Seorang perempuan berdiri angkuh dengan sayap hitam di punggung. Rambutnya panjang. Bukan malaikat. Perempuan itu ibunya yang ia yakini telah mengorbankan hidupnya agar hancur. Betapa ia merasakan hatinya mendidih hebat. Mata ibunya berkilat. Ada dendam yang tidak dipahami. Lantas ia menutup mata dengan kedua tangannya. 

Saat jemarinya terurai, ia membeliak. Setelah wajah ibunya menghilang, ular-ular besar melilit tiang listrik beserta kabel-kabelnya. Membentuk semacam kepangan dengan lidah berdesis. Tubuhnya begitu lemas. Tidak lama jatuh. Ia berjuang untuk berdiri. Seorang lelaki bertato datang mencengkeram plastik berisi jamur berbintik putih di atasnya berkata, “Amanita Bodoh! Kenapa kau keluar rumah?”

Ditulis oleh, Heri Sutrisno


*Tulisan ini diikut sertakan dalam #Event_Juang1 #FiksiMini (Kontes menulis khusus bagi peserta AMJ)

0 komentar:

Posting Komentar