Minggu, 04 Desember 2016

Filled Under: , ,

Sepapan Kehidupan


Ilustrasi, Kakung. Search image, here.

Mengantarkan satu biji nangka ke dalam mulut dan menubruk sebingkai foto lawas hitam putih membawa Kakung pada kenangan.

"Mana uangnya, Pak?" sembari menengadahkan tangan.
"Maaf Bu, belum dikasih upah hari ini," segenap kelelahan alam raya menempel di wajahnya.
"Gimana tho Pak, Ibu sudah punya utang, malu Pak."

Sore hingga habisnya malam itu, Ibu tak bersuara sederit pun. Maklum, Ibu adalah anak tuan tanah yang sejak kecil bergelimang harta, tak pernah kekurangan apalagi memiliki utang.

Esoknya, Bapak mengajak tubuhnya pergi dan kurang dari satu jam telah kembali, mengembangkan senyum tanpa gigi, memberikan beberapa lapis tipis lembar uang pada Ibu. Belakangan terkuak, itu bukan upah seperti pengakuannya, itu hasil mengemis utang pada seseorang.

Kemiskinan tidak menjadi pagar untuk Bapak. Saat Kakung kuliah dan kehilangan motor buntutnya, Bapak dengan senang hati menyerahkan motornya-yang buntut juga-, sementara Bapak berjalan kaki menempuh jarak tujuh kilometer setiap hari untuk ke sawah.

Seketika Kakung kedatangan air mata yang jatuh meraba pipinya menyaksikan kenangan di bingkai dan nangka yang menghadapnya. Air mata kebanggaan karena itu bukan kesulitan, perjuangan, atau pun pengorbanan, itu adalah kehidupan. 


Ditulis oleh, Dianatus Sa'adah

Bulungan, Desember 2016.

*Tulisan ini diikut sertakan dalam #Event_Juang1 #FiksiMini (Kontes menulis khusus bagi peserta AMJ)


0 komentar:

Posting Komentar