Jumat, 22 September 2017

Tips agar mata tetap sehat

Oeh : Titin Amelia

Halo Sahabat AMJ.... Wah tidak terasa ya, ternyata kita sudah berada di bulan pertengahan tahun, yaitu bulan Agustus. Bagaimana kabar kalian? Semoga selalu berada dalam lindungan-Nya. Senang sekali akhirnya Titin bisa menyapa kalian dengan keadaan sehat dan bahagia tentunya. Di pertengahan tahun ini, Titin punya tips buat kalian agar mata selalu sehat, yaitu dengan makanan. Penasaran? Makanan apa saja sih? Yaitu:
Brokoli. Brokoli mengandung banyak vitamin C, kalsium, lutein, zeaxanthin, dan sulforaphane.
Tomat. Tomat memiliki kandungan vitamin C dan lycopene tinggi, yang mana keduanya merupakan nutrisi penting untuk kesehatan mata.
Telur. Telur memiliki banyak nutrisi berharga untuk mata, seperti vitamin A, zinc, lutein, lecithin, B12, vitamin D, dan juga cysteine.
Bawang putih. Bawang putih mengandung selenium, vitamin C dan quercetin. Selain itu makanan ini sangat baik untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Alpukat. Alpukat adalah salah satu jenis buah yang mengandung sangat banyak nutrisi dibanding yang lainnya. Sangat baik untuk tubuh, termasuk mata. Alpukat mengandung lutein yang sangat tinggi.
Wortel. Seperti telah diketahui, buah dan sayuran yang berwarna oranye adalah baik untuk mata. Adalah beta-carotene, salah satu tipe vitamin A yang memberi warna oranye pada wortel, membantu untuk retina dan bagian lain pada mata agar berufungsi dengan baik.
Biji bunga matahari. Jenis makanan yang sering jadi cemilan ini mengandung banyak selenium dan vitamin E, yang mampu mencegah katarak dan gangguan mata lainnya.
Bayam. Bayam kaya akan kandungan vitamin A-nya. Bayam dan juga sayur-sayuran berdaun hijau lainnya memiliki banyak nutrisi yang baik untuk mata.

Nah, itu tadi tips agar mata selalu sehat dari Titin. Semoga bermanfaat. Sampai ketemu pada kesempatan selanjutnya. Salam literasi.

MERDEKAKAH NEGERIKU


Oleh : He Nawa

Hancur lebur
Waktu itu darah berhambur
Dentum meriam bertabur
Menambah gaduh bumi garudaku

Pahlawan nanar
Pantang ketakutan, pantang sumbar
Hingga tubuh terlempar
Demi membela tanah air Indonesiaku

Sampai kapan jajahan ini berakhir
Sedang kini insan dalam negeri berlayar
Berebut kuasa dan tahta tanpa latar
Merdekakah empat lima negeri katulistiwaku


Peteng Jinggrang, Agustus 2017

Kebesaran Tuhan


Oleh : Ulin Nuha

Ketika malam telah tiba
Aku beranjak pergi ke luar rumah
Duduk di halaman
Menyaksikan kebesaran Tuhan

Malam begitu sunyi
Terasa sungguh menyenangkan
Bintang-bintang yang terlihat terang
Seakan membuat hatiku ingin terbang

Bulan berwarna kuning keemasan
Menerangi bumi sepanjang malam
Suara kicau burung-burung di malam hari
Membuat malamku begitu  sempurna

Oh Tuhan, indah nian ciptaan-Mu
Teramat besar keagungan-Mu
Terima kasih untuk malam-Mu
Malam yang menyentuh kesadaranku
Engkau begitu besar jika dibanding denganku

Jepara, Agustus 2017


Intoleran Dalam Kebebasan


Oleh : Eni Widya

Bergelayutan di gelapnya malam
Menengadah rembulan yang menghilang
Bersama sisa-sisa makanan yang mulai memudar
Menebarkan aroma busuk
Menyengat pernapasan

Sesak
Tak bisa bernapas dengan tenang
Selalu tertekan oleh keadaan
Membuat hati pilu menahan
Oleh binatang yang tak kunjung diam
Menghina tanpa kenal toleran

Jepara, Agustus 2017


Puisi di Atas Merah Putih


Oleh : Havidz Antonio

Allahuakbar. Allahuakbar.
Dar. Dar. Dar.
Allahuakbar. Allahuakbar.
Gemuruh teriakan dan jeritan riuh memekakkan telinga di padang rumput itu.  Padang rumput yang kelabu tertimpa sinar pucat cahaya rembulan yang muram. Muram melihat kejadian di bawahnya. Mayat-mayat bergelimangan seperti botol kecap yang tiarap dan tutupnya terbuka, mengalirkan darah kental di tanah. Darah dari mayat syuhada’ dan para kompeni keparat itu.
Meskipun hanya bersenjata seadanyaparang, celurit, sundu dan bambu kuning yang diruncingi ujung-ujungnya—para  pahlawan pertiwi berseragam hijau kacang kapri itu, menggempur para kompeni tanpa rasa takut. Semangat mereka berkobar-kobar. Prajurit-prajurit kompeni kewalahan. Kocar-kacir mereka dihantam semangat para pejuang.
Seorang jejaka pribumi bertempur dengan sangat hebat. Dengan semangat berkobar dia menghunuskan bambu runcing pada setiap musuh di depannya. Kocar-kacir prajurit kompeni dibuatnya. Namun, salah satu kompeni sedang membidiknya. Dan, daarr… Peluru meroket.  Menelusup pas di jantung jejaka itu. “Allahuakbar!” Kata terakhir yang dia ucapkan. Berhenti. Detak jantung merah putih itu berhenti. Mati.
Kemudian semuanya gelap. Semu.
***
Aku terbangun dari tidurku. Napasku terpacu seperti habis maraton di alun-alun kota sebanyak sepuluh putaran tanpa berhenti. Keringat membanjiri tubuh. Aku mendesah lirih.
“Astagfirullahaladzim.”
Ali, teman sebangkuku memandangku aneh. “Kenapa, Bar? Mimpi itu lagi?”
Aku mengangguk lemah. Sungguh aneh, aku selalu memimpikan peristiwa itu. Dan selalu terjadi pada hari-hari mendekati tanggal 10 November. Mulai dari November pertama aku berada di Madrasah Aliyyah ini, hingga November sekarang. November terakhir jika aku lulus dari sekolah.
Kuarahkan pandangan ke penjuru kelas. Suasana ramai. Ada yang ngobrol, bergosib bahkan tidur (seperti aku tadi). Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka yang tidur memimpikan hal yang sama sepertiku?
Sementara itu, kepalaku masih terasa pening karena mimpi tadi. Aku memandang jam di dinding. Baru pukul 09:35. Waktu istirahat masih lama. Sementara aku sungguh ingin pergi ke kantin membeli minum. Kemudian, kualihkan pandangan keluar jendela. Kebetulan bangkuku terletak di dekat jendela lantai dua.
Rupanya orang itu belum ada. Orang yang kata teman-temanku sinting. Aku pun beranggapan demikian. Orang yang selalu berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat setiap hari-hari mendekati tanggal 10 November.
“Bar, berhenti melamunnya. Tuh, Bu Ida sudah datang,” kata Ali, menjawilku.
Bu Ida, guru matematika memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak. Ibu minta maaf terlambat masuk kelas karena tadi ada yang harus diurus di kantor,” kata Bu Ida. “Sekarang, kita lanjutkan pelajaran. Buka halaman 141. Fungsi limit.
Sebelum membuka buku, sekali lagi aku memandang keluar jendela. Orang yang aku maksud sudah berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat.
***
Para siswa dan guru tiada lagi. Tinggal aku, Ali dan orang gila itu. Aku memang sengaja menunggu keadaan ini. Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan orang gila itu. Mengapa dia rela berpanas-panasan hanya untuk hormat pada tiang bendera seperti orang upacara 17 Agustus? Padahal hari ini bukan tanggal Agustus. Ini November. Dan mimpi itu juga terjadi pada waktu sama. November?
Aku mengajak Ali mendekati orang gila itu. Ali bergeming.
“Ayolah, Al. Aku sangat penasaran,” kataku pada Ali dengan wajah yang kubuat sememelas mungkin.
“Kamu sudah sinting, Bar? kayak nggak ada kerjaan aja.” Ali geleng-geleng kepala seakan melihatku sudah ikutan jadi gila. “Lagian percuma saja. Orang gila itu tak akan memedulikanmu. Pak kepsek, Pak Bambang, Pak Sahal, tukang kebun sekolah, semuanya dicuekin orang gila itu. Mungkin saja orang gila itu bisu.
Namun, rasa ingin tahu telah membuatku keras kepala. “Apa salahnya dicoba?”.
Dan akhirnya, setelah perdebatan yang panjang, sahabatku itu mau juga kugelandang mendekati orang gila itu. Ali mengikutiku setengah hati. Ragu-ragu kami melangkah. Hingga sampai kami berada di belakang orang gila itu.
“Permisi, Mas,” kataku pada orang gila itu.
Tidak di-respeck.
“Permisi, Bang,” kataku lagi.
Aku masih dicuekin. Kujawil pundaknya karena tak sabar. Dia menatapku. Aku terperanjat. Ali kaget mundur ke belakang. Sebelumnya aku tak pernah berada sedekat ini dengang orang gila ini. Orang gila ini terlihat masih muda, mungkin berumur 27 tahun. Terbalut baju compang-camping. Dan wajahnya penuh bekas luka. Seram!
Aku bingung mau berkata apa. Kemudian orang gila itu merogoh ke dalam kantong celananya. Aku waswas, begitu juga Ali. “Eh, apa yang sedang dia rogoh, Bar?” bisik Ali.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” kataku berbisik.
“Kurasa kita harus segera pergi,” usul Ali.
“Sebentar lagi, Al.
Aku yakin dalam kantong celananya yang ciut itu tidak ada apa-apa. Namun ajaib! Sungguh aku tidak menyangka dari dalam kantong celananya ada segumpal kain. Bendera merah putih. Hah?  Ya, dia mengeluarkan bendera merah putih. Dan aku heran tak terkira orang gila ini memberikan bendera merah putihnya itu kepadaku.
“Ambillah,” katanya dalam suara berat dan serak. Sebetulnya aku juga merasa ada aura seram.
Aku dan Ali mengamati bendera merah putih yang kini berada di tanganku. Kainnya lusuh, banyak robekan-robekan kecil dan warna merahnya luntur menjadi pink. Bendera ini membuat perasaanku tidak nyaman. Aku tidak bisa menafsirkannya seperti bagaimana. Aku mendongak dan mau bertanya pada orang gila ini mengapa dia memberikan benderanya padaku. Namun, aku termangu dalam tanda tanya besar. Orang gila itu sudah tidak ada. Aku dan Ali saling berpandangan, langsung ngacir ketakutan.
***
Malamnya, kutaruh bendera merah putih menyedihkan itu di atas meja belajar. Kupandangi terus bendera itu. Sementara udara dingin masuk melalui jendela, pikiranku berkecamuk dalam ketidakpahaman. Dan semakin lama aku menatap bendera itu, semakin aku merasakan sesuatu. Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa lebih tepatnya.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Secara misterius kata demi kata terangkai. Kata-kata itu tertoreh di atas bendera merah putih itu. Seharusnya dalam detik ini juga aku sudah menjerit. Aku menyaksikannya, sajak demi sajak tercipta. Dan semua itu tertulis dengan… darah! Bayangkan! Darah!
Aku membaca sajak-sajak itu.
Malam itu
Malam itu ramai
Bukan karena kukuk-kukuk burung hantu
Bukan juga karena lolongan serigala
Namun karena perang

Merah putih berkibar-kibar di udara
Orang-orang berteriak,“Negeri kita harus merdeka, ALLAHUAKBAR!
Dan kupenggal leher para penjajah itu

Hingga merdekalah tanah kita
Soekarno-Hatta telah mengungumkannya
Namun aku masih terseok-seok dan tertatih

Hingga kini,
gedung-gedung menjulang tinggi
Hotel-hotel berbintang di sana-sini
Bioskop, stadion, dan jalan-jalan layang beranak,
bersama manipulasi, kolusi, korupsi, monopoli

Aku merintih
Aku menangis

Tak ada yang mengenal lagi
Tak ada yang peduli lagi
Yang kini tiada lagi
Setelah sebutir peluru itu menjatuhkanku
Dalam medan tempur itu

Aku telah melayang
Dalam sejarah berdebu
Demi dirimu
Kurelakan jiwa ragaku
Agar engkau bebas
Merdeka.
Tanah airku

Hah? Apa ini? Puisi?
Aku mencoba memahami setiap rangkaian kata di atas bendera merah putih. Mencoba menghubungkannya dengan mimpi yang selalu kualami. Kesimpulnnya mulai jelas di benakku. Mungkin sekolahku dulu adalah bekas medan perang. Dan mungkin orang gila itu?
Sebuah nama tertoreh di atas merah putih.
RAHAYU
Terperanjat. Aku tahu nama siapa yang tertoreh di atas merah putih. Nama nenekku. Ya, nama nenekku. Tanpa buang waktu lagi kuambil bendera menyedihkan ini. Kumasukkan benda ini kedalam tas cangklong hitamku. Segera aku pergi ke rumah Paman di desa sebelah. Nenek Rahayu tinggal bersama Paman. Usianya mau mencapai 70 tahun. Sementara Kakek sudah lama meninggal.
***
Kulihat Nenek sedang duduk di kursi goyang sambil mendendangkan lagu gambang suling. Nenek memang suka sekali dengan lagu-lagu tradisional.
Aku sebenarnya kurang begitu suka dengan lagu semacam itu. Aku lebih suka musik modern. Namun, jika Nenek yang menyanyikannya, maka aku akan terbawa dalam alunan lagu jawa semacam itu seperti aku mendengarkan thinking out loud-nya, Ed Sheeran.
Namun, kedatanganku ke sini bukan untuk meminta dinyanyikan Nenek. Segera aku menemui Nenek. Kuucapkan salam. Kukecup tangannya. Kuambil bendera merah putih dari dalam tas cangklong. Kuserahkan pada Nenek.
Nenek tampak terkejut. Mata di balik kacamata tuanya begitu sendu. Mulutnya tertutup. Yang terjadi kemudian adalah hening. Hingga perlahan-lahan, sebutir air jatuh dari pelupuk mata Nenek, membasahi pipi Nenek yang keriput. Dipeluknya bendera itu. Seolah bendera itu adalah sesuatu yang dirindukan Nenek sepanjang hidupnya. Semakin deras air mata terjatuh.
“Dia berjanji akan menikahiku setelah pulang dari perang tapi dia tidak pernah kembali. Aku bangga padanya yang dengan gagahnya membela tanah air.
Mengalirlah cerita Nenek.
***
Besok paginya, aku menggali lubang di depan tiang bendera sekolah. Kupendam bendera merah putih itu.  Kemudian, aku berdoa untuk pemilik bendera merah putih itu. Semoga pengorbanannya untuk tanah air di terima Tuhan. Dan pahlawan yang tak pernah diketahui bangsa itu mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin.
Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanannya. Aku akan lebih giat belajar supaya bisa berguna bagi bangsa tercinta ini.
***
Satu tahun kemudian.
Hari ini tanggal 10 November. Aku sudah lulus. Aku sengaja mengunjungi sekolah ini. Aku bertanya pada adik-adik kelas, kata mereka sudah tidak ada yang pernah melihat orang gila atau pemuda compang camping atau pahlawan itu, yang berdiri di depan tiang bendera sambil hormat setiap bulan November.


Masalah Kompleksitas Kebenaran dalam Dongeng Anak-Anak


Penulis: Adi Zamzam

Kita mengenal cerita-cerita dongeng itu sebagai warisan nenek moyang yang lintas generasi. Berabad-abad berjalan, melalui medium lisan yang kemudian dialihkan ke medium tulisan, konten dari dongeng-dongeng itu telah memengaruhi cara pandang, norma-norma kehidupan, etika, bahkan hukum masyarakat kita. Sebut saja ‘Malin Kundang’ yang membawa nilai, siapa yang durhaka kepada orangtua, maka ia akan menjadi batu. Batu di sini sebenarnya merupakan bahasa semiotik dari kekerasan hati, hilangnya empati, dan kebaikan. Atau ‘Lembusora’ dalam dongeng ‘Misteri Gunung Kelud’ yang digambarkan memiliki kepala kerbau. Kerbau selalu diidentikkan dengan sifat bodoh, tak punya kekritisan pikir, dan senang bertindak grasa-grusu. Atau bunga teratai berbau harum jelmaan istri sang Mahapatih dalam legenda Banyuwangi. Teratai melambangkan keindahan, sementara bau harum melambangkan kebenaran yang akan senantiasa membawa nama baik meski sang empunya nama sudah tiada.

Senada dengan apa yang pernah diungkap oleh Nadine Gordimer mengenai mitos  (yang bisa menjadi perwakilan dari dongeng), bahwa dengan mitos, nenek moyang kita bahkan sengaja menggunakan unsur-unsur kehidupan sehari-hari (lantaran merupakan realitas yang paling mungkin diobservasi) dan memanfaatkan imajinasi (lantaran ia merupakan sarana yang bisa digunakan untuk menyusun proyeksi hingga hal-hal yang tersembunyi) untuk keperluan membuat cerita (Ade Ma’ruf, Jendela, 2003; 157). Hampir keseluruhan dongeng-dongeng itu memakai simbolisme baik dalam penokohan maupun alur. Dan memang tak bisa dimungkiri, seperti apa yang dikatakan Roland Barthes bahwa mitos (mewakili seluruh genre dongeng) adalah kerja mentransformasikan makna ke dalam bentuk. Makna-makna yang hendak disampaikan disembunyikan sedemikian rapi dan indahnya dalam metafor-metafor yang semasa kanak justru kita yakini sebagai kebenaran fiksi—karya fiksi yang hampir dianggap sebagai kenyataan. Hal ini lantaran bentuknya yang memang disesuaikan dengan daya jangkau imajinasi dan anak-anak yang lugu, meskipun kelogisannya selalu butuh penjelasan lebih lanjut. ‘Mitos menjadi penengah antara yang diketahui dan tak diketahui’ (Ade Ma’ruf, Jendela, 2003; 157). Dan memang kaum anak-anaklah yang menjadi sasaran muatan-muatan yang disembunyikan di dalam dongeng-dongeng itu, meski tak bisa diingkari, nilai-nilai yang dibawanya juga amat relevan untuk ‘menasihati’ semua kalangan umur.

Yang menarik untuk dikritisi dari seni dongeng ini adalah—meminjam istilah Mongare Serote (penyair Afrika Selatan), persoalan kompleksitas kebenaran yang tak disajikan secara proporsional. Cerita dibangun secara hitam putih semata. Tokoh antagonis tak diberi kesempatan menunjukkan alasan-alasan mengapa ia mesti berbuat jahat atau salah. Tak ada warna abu-abu yang bisa memancing daya kritis pendengar/pembaca. Padahal dalam realitanya, hitam putih kadangkala bisa berubah sedemikian cepatnya lantaran pengaruh situasi dan kondisi. Takkah ini menjauhi cara didik yang baik? Ataukah ini sebenarnya sebentuk pengajaran kepada anak-anak  yang memang  seharusnya diajari ketegasan, bahwa di dunia ini hanya ada hitam dan putih, jangan sampai kau terperosok dalam abu-abu sebab abu-abu itu cenderung akan berubah menjadi hitam? Di sinilah letak keterbatasan dongeng yang bisa mengurangi daya empati pembaca. Kekakuan ini tak pelak akan menjadi penyebab kekakuan anak-anak (sebagai penikmat utama) dalam menghadapi realita kehidupan.

Jika kita mencermati pendapat Roland Barthes mengenai mitos, sepertinya kita bisa mengalihkan metafor-metafor itu ke atas meja bedah penelitian. Takkah metafor-metafor sengaja dipilih demi mewakili nasihat-nasihat khusus? Meskipun tetap saja daya nalar anak-anak tetaplah takkan mampu menangkapnya. Anak-anak justru seolah dibiarkan menikmati keindahan cerita saja, lantaran cerita selalu membawa sifat realitas yang mudah dipahami, sementara apa yang ada di baliknya (realitas yang tak mudah dipahami) baru terkuak setelah daya nalar dan logikanya berkembang sempurna. Kita dihadapkan pada permasalahan pemaknaan samar-samar dan dibiarkan memunguti jejak-jejak yang tersisa dari kerak penciptaan  penulis/pengarang anonim.

Pemaknaan ini tentu saja bukanlah perkara gampang, lantaran pemaknaan jadi hanya bersifat tunggal, hanya melulu pada karya itu saja. unsur ekstrinsik yang bertumpu pada penulis/pengarang tak bisa dijadikan acuan pendamping sebagaimana ketika kita mengupas karya-karya sastra modern yang kraetornya bahkan bisa ikut bernarsis ria bersama karyanya. Kerja pemaknaan ini pun kemudian bisa terbentur pada jawaban multitafsir, tergantung sejauh mana keluasan ilmu sang penafsir, lantaran memang demikianlah sifat dasarnya dari penanda kosong yang bertebaran dalam karya seni dongeng tersebut. Menurut saya, ini merupakan kelebihan namun juga sekaligus kekurangan. Begitu.*


Makna Kemerdekaan, Sebuah Inspirasi Untuk Kaum Muda


Oleh :  Ella Sofa


Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Dalam benak kita sebagai generasi penerus bangsa adalah hasil jerih payah, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia oleh para pahlawan dan proklamator bangsa ini. Apa sebetulnya makna dan tujuan kita mengadakan peringatan hari kemerdekaan itu?
Pertama, untuk mendoakan para pahlawan kita.
Kedua, adalah untuk mengenang pengorbanan mereka.
Ketiga, ini sebetulnya yang paling penting, bagaimana kita dapat menimba teladan hidup dari mereka. Ibarat mercusuar di tepi laut, yang menjadi pedoman bagi semua nelayan, para pahlawan itu adalah penunjuk arah yang jelas bagi kehidupan kita, sekarang dan masa depan yang penuh tantangan dan harapan. Inspirasi apakah yang diwariskannya? Inspirasi dan nilai-nilai yang dapat kita ambil dari peristiwa menjelang detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertama, adalah cita-cita yang jelas.
Cita-cita para pahlawan yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Pembebasan ibu pertiwi dari penjajahan bangsa asing. Ini adalah cita-cita besar, cita-cita pribadi atau golongan tertentu. Bung Karno sebagai proklamator mengatakan supaya kita menggantungkan cita-cita setinggi langit. Cita-cita membuat kita bangun lebih pagi, membuat kita tahan lebih lama bekerja, di kota-kota besar bahkan terjadi tahan bekerja di bawah terik matahari, berdesak-desakan dalam bus untuk menemui nasabah atau calon pelanggan, bekerja sampai larut malam, di kantor, jika memang ada pekerjaan yang mendesak.
Kalau anak-anak ditanya, ”Mau jadi apa ketika sudah besar?” mereka menjawab, “Mau jadi dokter, perawat, pilot, atau pramugari.” Tidak ada yang menjawab ingin jadi pahlawan, karena pahlawan bukan pekerjaan, tetapi pahlawan adalah sebuah panggilan. Bila kita mengerjakan tugas-tugas bagai suatu panggilan, mengerjakannya dengan sepenuh hati, dengan rasa cinta, maka kita pun telah menjadi pahlawan dalam lingkungan kita.
Setiap zaman sebenarnya menyediakan tantangan dan kesempatan bagi setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan besar, tindakan-tindakan bermakna, yaitu bila ia bekerja tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi kebaikan orang lain, dan untuk kepentingan orang banyak.
Kedua, adalah Semangat Pantang Menyerah.
Bila kita memiliki cita-cita yang jelas, tantangan atau godaan apa pun tidak akan menggoyahkan kita. Kita tidak akan menyerah dengan mudah. Misalkan sebuah ilustrasi Columbus, “Setelah sebulan berlayar, anak buah Columbus sudah putus asa. Pulau yang diimpikan belum juga kelihatan. Mereka terus mendesak Columbus untuk kembali ke Spanyol. Tetapi setiap kali didesak, Columbus menjawab, “Ayo kita teruskan sedikit lagi.” Dan seterusnya kita tahu. Columbus dianggap menemukan benua Amerika, sekalipun benua ini sebelumnya sudah ditemukan dan dihuni oleh orang-orang Indian. Yang jelas, inilah hasil sebuah cita-cita besar yang diikuti dengan semangat pantang menyerah.
Jadi jangan mudah menyerah. Bila kita terus berjalan menuju ke arah cita-cita, pada suatu saat kita akan sampai di tempat tujuan. Seringkali hal itu terjadi justru pada saat kita sudah ada di ujung putus asa.
Ketiga, adalah Keberanian
Bung Karno dan kawan-kawanya pastilah bukan orang-orang pengecut. Beberapa kali dibuang oleh kolonial Belanda, tetapi beliau dan kawan-kawanya tidak pernah putus asa, dan tidak mau menempuh jalan aman dan penakut. Mereka dengan sadar memilih jalan sulit dan berbahaya. Mereka memilih menempuh jalan yang jarang dilalui. A road less traveled, kata penyair Robert prost. Mereka adalah para pemberani.
Ini perlu kita kita teladani sebagai generasi penerus bangsa dalam menjalani hidup ini. Cita-cita yang cemerlang seringkali gagal karena kita tidak memiliki keberanian untuk mewujudkannya. Kita takut untuk memulai, kita takut untuk mengambil resiko, kita takut gagal. Semua rasa takut itu melumpuhkan kita.
“Jika Anda memiliki keinginan, laksanakanlah. Keberanian memiliki kejeniusan sendiri.” Jelasnya kepandaian itu akan timbul bila kita memiliki keberanian. Keberhasilan hanya buat mereka yang berani. Dunia ini adalah untuk orang-orang pemberani.
Keempat, adalah Semangat Berkorban.
Tidak ada yang gratis di bawah matahari. Demikian semboyan orang-orang bisnis. Saya kira semboyan itu benar sekali. Apa pun yang kita lakukan perlu pengorbanan. Bahkan kalau kita tidak melakukan apa-apa, kita juga telah mengorbankan sesuatu yaitu kesempatan. Hidup ini memang menuntut pengorbanan.
“Pengorbanan adalah sebuah kata yang indah dan dinamis. Karena itu perkembangan pengetahuan dan pengalaman dengan perubahan waktu identik dengan pengorbanan yaitu berubah dan berkembang. Setiap tindakan pengorbanan adalah pelayanan. Prinsip-prinsip pengorbanan adalah satu hal dan praktik-praktik yang didasarkan atas agama atau hal yang lain. Prinsip-prinsip ini adalah mutlak dan tak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Seiring dengan perubahan, maka setiap zaman memiliki cara berkorban sendiri dan mempunyai kekhasan sendiri pula.
Bangga Sebagai Bangsa Indonesia.
Kalau kita cermati dan hayati ketika kita berziarah ke taman makam pahlawan, di sana kita jumpai nama yang terukir indah, mungkin bisa jadi nama orang itu berasal dari daerah kita. Kita akan bangga membaca nama mereka. Para pahlawan yang gagah perkasa telah mengorbankan jiwa dan raganya demi tanah air, demi kita generasi penerus, dan ini membuat kita bangga.
Karena pengorbanan mereka, kita bukanlah penumpang gelap, bukan penumpang gratis (free riders) di dalam Negara dan bangsa Indonesia ini. Kita sama-sama memiliki andil dalam Negara ini. Karena itu kita sebagai kaum muda penerus bangsa juga ikut memiliki hak untuk menentukan arah ke mana negara ini hendak dibawa.
Dengan bekal cita-cita, keberanian, semangat pantang menyerah, dan kemauan untuk berkorban di abad ke 21. Suatu milenium baru yang penuh dengan tantangan. Satu dunia baru yang berani. “A brave new World.” Kaum muda wajib merenungkan untaian kata berikut : “Tiada pengorbanan yang sia-sia, Tiada rintangan yang tak dapat diatasi. Walaupun sedikit dari pelayanan ini, akan membebaskan kita dari cengkraman penderitaan. Wallahu a’lam.

Dikutip dari IQRO CLUB KEMAYORAN (Saz)

HUMOR || KEADILAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA


Oleh: Malika Malik

Maman: Pak, saya mau petinggi di tempat saya diganti saja.
Pak Mentri: Lha memangnya kenapa? Bukankah petinggimu itu baik, adil, menyejahterakan rakyatnya? ucap Pak Mentri, belum tahu betul ulah wakil rakyatnya (Pak Petinggi) yang sebenarnya.
Maman: ya sudah kalau begitu, taruh saja petinggiku di desa Pak Mentri atau desa lainnya, kan katanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?

Pak Mentri: &!&&$%!??