Jumat, 22 September 2017

Filled Under:

Hamartia: The Story of Layla and Majnun Terjemahan Dr. R. Gelpke

Oleh : Isyam Syampoerna


Sampai saat ini, kisah Laila-Majnun masih diklaim sebagai masterpiece-nya sastra Islam karena mampu mempengaruhi puisi, prosa, lagu, dan karya sastra lain. Beberapa adaptasi karya ini diangkat baik di Dunia Barat, India, bahkan Persia (Sinha, 2008: 6) dengan tema percintaan dari keluarga bangsawan yang tidak direstui ‘two ill-fated lovers’. Pun, Shakespeare, penulis Romeo dan Juliet (1616 M), dianggap binary opposition kisah ini lantaran dominasi kemiripan di beberapa unsur intrinsik. Awalnya, kisah Laila-Majnun bersumber dari budaya oral di Timur Tengah. Kemudian, penyair terkemuka Persia, Nizami Ganjavi, mengisahkannya kembali dalam wujud diwan (puisi) sebanyak 8.000 baris di tahun 1188 M. Walaupun telah berumur ratusan tahun, padatnya tema dan isu-isu termutakhir masih mempunyai relevansi dengan kisah ini baik menyoal agama, politik, gerakan wanita, sastra, romansa, dll.




Di waktu berbeda, Dr. R. Gelpke mentransformasi ‘Diwan Qais Ibnu Mulawwah Majnun Laila’ dalam bentuk novel berbahasa Inggris ‘The Story of Layla and Majnun’ di tahun 1966. Karya ini memberikan gambaran bagaimana karakter-karakter dan perwatakannya menciptakan alur yang mumpuni untuk diikuti, khususnya tokoh Qais atau Majnun sebagai karakter utama. Novel berasal dari bahasa Latin novellus yang berarti new dalam bahasa Inggris. Dikatakan ‘baru’ karena novel datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya (Priyatni, 2010: 124). Meskipun beberapa ahli masih silang pendapat tentang batasan dan definisinya, novel masih dianggap sebagai satu dari tiga karya sastra murni jika mengekor pada prosa.




Secara garis besar, karya yang dikaitkan dengan dunia sufi ini mengisahkan kehidupan dua sejoli yakni Laila dan Qais yang masing-masing klannya dipimpin oleh Mahdi bin Sa’ad dan Mulawwah bin Muzahim. Klan Laila menolak Qais sebab khawatir akan menurunkan pengaruhnya dengan menerima pinangan orang gila, sedangkan Klan Qais menganggap kegilaan tersebut karena Laila. Permasalahn ini semakin pelik saat Majnun dibantu temannya melawan Klan Laila dan Laila dinikahkan dengan pria lain. Meskipun tokoh dalam kisah ini cukup rumit, akan tetapi jalur cerita masih saling berhubungan untuk mengisahkan cerita Laila dan Majnun. 




Tragic Hero




Hero atau pahlawan menurut Kamus Merriam Webster ialah: (1) seorang yang dikagumi karena kemampuan atau kualitasnya, (2) orang yang diagungkan, (3) figure sentral dalam suatu cerita; flim, drama, dll. Tidak jauh berbeda, Cambridge juga mendefinisikan hero sebagai manusia yang dikagumi oleh orang banyak karena keberanian atau perjuangannya meraih hal besar. Berkaca pada outline tersebut, aksi, tingkah, dan ciri Qais di awal cerita dapat dikategorikan sebagai pahlawan, namun plot twist memaksanya menjalani kisah sebagai tragic hero. 




Genre ini (Aristotle dalam Abrams 2005: 370) diangggap paling efisien untuk menimbulkan efek sedih sekaligus teror pada pembaca yang mana keberuntungan bercampur kesialan tanpa bisa menghakimi kesalahan dan kesalehan. Di lain sumber, Aristotle membatasi,“…a tragic hero is a noble person of higher social standing, like prince or the son/daughter of a lord, who has some character flaw that lead to his/her downfall”(…peran tragic hero berasal dari kaum bangsawan yang tinggi strata sosialnya, seperti pangeran atau pewaris kaum aristokrat yang mempunyai kecacatan karakter dan menggiringnya ke dalam kehancuran). Dengan kata lain, tokoh tragic hero merupakan seseorang yang awalnya berperan penuh kebaikan dan keagungan tanpa cela, namun dipaksa keluar dari zona eksistensinya. 




Definisi ini menjadi tolak ukur pencitraan Qais yang berasal dari keluarga ternama dan pewaris tahta Bani Amir di Kota Najd. Di sana, ia menerima penghormatan laiknya seorang khalifah. Selain ciri fisik yang ideal, kepandaian Qais menjadikannya murid terbaik dan ilmunya adalah modal utama sebagai legitimasi kualitas manusia, seperti menggubah puisi. Sajak ciptaannya sarat akan tema dan teknik seperti color, form, sound, imagery, harmony, rhythm, dan speech plain sebagai komposisi utama. Cantarino (1975: 2) menyebutkan bahwa poetry and poetic accomplishments are always cited by them (Arabs) as their own most important characteristic and one that distinguishes them from all people (Puisi dan sajak adalah ciri bangsa Arab sebagai pencapaian tertinggi yang membedakannya dengan kaum lain). Bagi bangsa Timur Tengah, puisi mempunyai peran penting dalam fungsi sosial. 




Hamartia 




Meskipun Qais dianugrahi keberuntungan, cacat karakter atau tragic flaw menuntunnya pada perjalanan yang tidak bisa dihindari. Tragic flaw adalah konsep dalam sastra yang diambil dari bahasa Yunani, Hamartia ‘error atau misjudgment’. Oleh sebab itu, keputusan apapun yang diambil akan mendekatkannya pada mara bahaya, seperti meninggal atau dikalahkan. Dalam The Story of Layla and Majnun, hamartia Qais meliputi: (1) prinsipnya untuk mendapatkan Laila secara baik-baik. Meski Qais berhasil menang melawan klan Laila melewati tangan Nawfal ‘Destroyer of Armies’, seharusnya ia mendapatkan hadiah Laila beserta harta rampasan. Sebaliknya, kesempatan tersebut ia abaikan dan memilih untuk meninggalkan medan laga (Gelpke,1966: 90). Terakhir, (2) obsesi membuatnya tak mampu mengontrol perasaan dan memperburuk keadaan dan sekitarnya. 




Pada dirinya sendiri, Qais nampak seperti orang yang tidak waras dan lebih suka mengasingkan diri ke gurun sahara dan tinggal di gua ataupun semak belukar. Dandannannya pun lebih buruk dari pengemis manapun; tubuh kurus dan pakaian yang tidak pernah utuh. Berkaca dari alur Qais, ia juga dapat dikatakan sebagai single-fighter ‘petarung yang berjuang sendiri’. Konsep ini hampir sama dengan mitos Marlborough Man (Hidayatullah, 2009: 179). Hero boleh jadi berhubungan dengan dunia di luar misinya dan tertarik untuk meraihnya, akan tetapi mereka akan selalu diingatkan bahwa mereka terikat dengan urusan yang lebih penting. 




Setidaknya, terdapat beberapa tawaran atau pengalihan untuk melupakan Laila, akan tetapi hal tersebut tidak menjadikannya lupa bahwa Laila adalah obsesi utamanya. Beberapa cara telah diupayakan ayah Qais, Al Mulawwah bin Muzahim, yakni (1) Melamarkan Laila supaya Qais tahu jawaban dari keluarganya dan menerima segala keputusan (Gelpke, 1966: 32). (2) Mengajak berhaji dan meminta kepada Allah untuk melepaskan jerat ingatan dari Laila (Gelpke, 1966: 41). (3) Menyarankannya untuk menikahi perempuan dari klannya sendiri yang mempunyai paras tidak kalah dengan Laila (Gelpke, 1966: 53). (4) Memberinya harta dan kekuasaan (Gelpke, 1966: 53), dan (5) meminta keluarganya untuk mengajak Qais kembali ke rumah asalnya (Gelpke, 1966: 171).




Tidak berhenti sampai di situ, keburukan obsesi tersebut membuat klan Qais merasa kehilangan pamor semenjak Qais dipanggil Majnun ‘gila’. Orang tua Majun pun meninggal akibat beban pikiran dan usia yang menggerogoti mereka. Terakhir, klan Qais mengalami kefakuman kepemimpinan. Secara tidak langsung, kegetolan Qais menyebabkan Laila dan suaminya, Ibnu Salam, tidak pernah harmonis bahkan Laila menolak untuk disentuh (Gelpke, 1966: 111).



0 komentar:

Posting Komentar