Jumat, 22 September 2017

Filled Under:

Masalah Kompleksitas Kebenaran dalam Dongeng Anak-Anak


Penulis: Adi Zamzam

Kita mengenal cerita-cerita dongeng itu sebagai warisan nenek moyang yang lintas generasi. Berabad-abad berjalan, melalui medium lisan yang kemudian dialihkan ke medium tulisan, konten dari dongeng-dongeng itu telah memengaruhi cara pandang, norma-norma kehidupan, etika, bahkan hukum masyarakat kita. Sebut saja ‘Malin Kundang’ yang membawa nilai, siapa yang durhaka kepada orangtua, maka ia akan menjadi batu. Batu di sini sebenarnya merupakan bahasa semiotik dari kekerasan hati, hilangnya empati, dan kebaikan. Atau ‘Lembusora’ dalam dongeng ‘Misteri Gunung Kelud’ yang digambarkan memiliki kepala kerbau. Kerbau selalu diidentikkan dengan sifat bodoh, tak punya kekritisan pikir, dan senang bertindak grasa-grusu. Atau bunga teratai berbau harum jelmaan istri sang Mahapatih dalam legenda Banyuwangi. Teratai melambangkan keindahan, sementara bau harum melambangkan kebenaran yang akan senantiasa membawa nama baik meski sang empunya nama sudah tiada.

Senada dengan apa yang pernah diungkap oleh Nadine Gordimer mengenai mitos  (yang bisa menjadi perwakilan dari dongeng), bahwa dengan mitos, nenek moyang kita bahkan sengaja menggunakan unsur-unsur kehidupan sehari-hari (lantaran merupakan realitas yang paling mungkin diobservasi) dan memanfaatkan imajinasi (lantaran ia merupakan sarana yang bisa digunakan untuk menyusun proyeksi hingga hal-hal yang tersembunyi) untuk keperluan membuat cerita (Ade Ma’ruf, Jendela, 2003; 157). Hampir keseluruhan dongeng-dongeng itu memakai simbolisme baik dalam penokohan maupun alur. Dan memang tak bisa dimungkiri, seperti apa yang dikatakan Roland Barthes bahwa mitos (mewakili seluruh genre dongeng) adalah kerja mentransformasikan makna ke dalam bentuk. Makna-makna yang hendak disampaikan disembunyikan sedemikian rapi dan indahnya dalam metafor-metafor yang semasa kanak justru kita yakini sebagai kebenaran fiksi—karya fiksi yang hampir dianggap sebagai kenyataan. Hal ini lantaran bentuknya yang memang disesuaikan dengan daya jangkau imajinasi dan anak-anak yang lugu, meskipun kelogisannya selalu butuh penjelasan lebih lanjut. ‘Mitos menjadi penengah antara yang diketahui dan tak diketahui’ (Ade Ma’ruf, Jendela, 2003; 157). Dan memang kaum anak-anaklah yang menjadi sasaran muatan-muatan yang disembunyikan di dalam dongeng-dongeng itu, meski tak bisa diingkari, nilai-nilai yang dibawanya juga amat relevan untuk ‘menasihati’ semua kalangan umur.

Yang menarik untuk dikritisi dari seni dongeng ini adalah—meminjam istilah Mongare Serote (penyair Afrika Selatan), persoalan kompleksitas kebenaran yang tak disajikan secara proporsional. Cerita dibangun secara hitam putih semata. Tokoh antagonis tak diberi kesempatan menunjukkan alasan-alasan mengapa ia mesti berbuat jahat atau salah. Tak ada warna abu-abu yang bisa memancing daya kritis pendengar/pembaca. Padahal dalam realitanya, hitam putih kadangkala bisa berubah sedemikian cepatnya lantaran pengaruh situasi dan kondisi. Takkah ini menjauhi cara didik yang baik? Ataukah ini sebenarnya sebentuk pengajaran kepada anak-anak  yang memang  seharusnya diajari ketegasan, bahwa di dunia ini hanya ada hitam dan putih, jangan sampai kau terperosok dalam abu-abu sebab abu-abu itu cenderung akan berubah menjadi hitam? Di sinilah letak keterbatasan dongeng yang bisa mengurangi daya empati pembaca. Kekakuan ini tak pelak akan menjadi penyebab kekakuan anak-anak (sebagai penikmat utama) dalam menghadapi realita kehidupan.

Jika kita mencermati pendapat Roland Barthes mengenai mitos, sepertinya kita bisa mengalihkan metafor-metafor itu ke atas meja bedah penelitian. Takkah metafor-metafor sengaja dipilih demi mewakili nasihat-nasihat khusus? Meskipun tetap saja daya nalar anak-anak tetaplah takkan mampu menangkapnya. Anak-anak justru seolah dibiarkan menikmati keindahan cerita saja, lantaran cerita selalu membawa sifat realitas yang mudah dipahami, sementara apa yang ada di baliknya (realitas yang tak mudah dipahami) baru terkuak setelah daya nalar dan logikanya berkembang sempurna. Kita dihadapkan pada permasalahan pemaknaan samar-samar dan dibiarkan memunguti jejak-jejak yang tersisa dari kerak penciptaan  penulis/pengarang anonim.

Pemaknaan ini tentu saja bukanlah perkara gampang, lantaran pemaknaan jadi hanya bersifat tunggal, hanya melulu pada karya itu saja. unsur ekstrinsik yang bertumpu pada penulis/pengarang tak bisa dijadikan acuan pendamping sebagaimana ketika kita mengupas karya-karya sastra modern yang kraetornya bahkan bisa ikut bernarsis ria bersama karyanya. Kerja pemaknaan ini pun kemudian bisa terbentur pada jawaban multitafsir, tergantung sejauh mana keluasan ilmu sang penafsir, lantaran memang demikianlah sifat dasarnya dari penanda kosong yang bertebaran dalam karya seni dongeng tersebut. Menurut saya, ini merupakan kelebihan namun juga sekaligus kekurangan. Begitu.*


0 komentar:

Posting Komentar