Minggu, 06 November 2016

Filled Under:

Surat Untuk Pasangan


Assalamu'alaikum, Dek. Mas tidak akan bertanya bagaimana kabarmu di sana. Tidak perlu. Mas yakin Dia dan para malaikat-Nya senantiasa menjagamu dengan baik. Iya, kan? 🙂 


Sebenarnya mas masih merasa ganjil--tidak nyaman--saat menuliskan surat untukmu, hingga harus diketahui banyak orang seperti ini. Huh! Ndak pede. Tapi apa boleh buat. Melihat betapa menggiurkannya hadiah yang ditawarkan, hatiku jadi tergoda untuk melakukannya. 😀 (Abaikan alasan perihal hadiah)

Dek, semalam mas menatap benda bulat itu lagi. Kali ini mendung menghalangi sinarnya lebih lama. Agaknya hujan membuat dia--satelit alami bumi itu--malu. Kamu tahu? Mas pernah menganalogikanmu seperti dia. Dia ada, tapi benda-benda lain menutupinya dari pandanganku. Entah itu awan, atau yang lainnya. Sama sepertimu, Dek. Mas yakin kamu ada. Hanya saja Dia--Allah--belum menunjukkannya kepadaku. Dia masih menutupnya dengan halangan-halangan kecil, juga besar. Halangan kecil ibarat awan yang sejenak mau lewat. Sedang halangan besar seperti kedatangan matahari. Membuatmu sempurna tak terdeteksi. Tapi, Dek. Kamu tahu sendiri, rembulan hanya muncul saat malam datang, namun bukan berarti saat itu bulan tidak ada, kan? Dia hanya sedang sembunyi. Kamu juga ada dan ... tengah sembunyi. I'm beleive it.

Dek, entah sejak kapan mas mulai suka menatap bulan. Menatapnya berjam-jam tidak membuatku bosan. Apa kamu juga suka menatap bulan?
Haha. Aneh memang. Mungkin karena setiap menatapnya mas jadi ingat akanmu. Mungkin saja. Tapi aku tidak akan mengakuinya. 😛
Padahal sebelumnya kamu tahu, kan? Mas lebih suka menatap awan. Hanya awan. Bukan bintang. Bukan bulan. Jika Adek juga suka, mungkin suatu hari nanti kita bisa menatapnya bersama-sama. Mengagumi sinarnya dari satu bingkai jendela rumah kecil kita.
Kenapa mas menyebutnya rumah kecil? Sebenarnya tidak apa-apa punya rumah besar, tapi mas khawatir kita akan kesusahan merawatnya. Mas lebih suka di sekelilingnya terdapat banyak bunga. Biar wangi. Biar indah. Mas juga malas harus berteriak-teriak saat memanggil karena saking besarnya. Jadi tidak apa-apa, kan? Kalau kecil kan tidak perlu banyak sekat, juga tembok yang nantinya menghalang-halangi kapan saja jika mas ingin menatapmu. (Merayu mode on)

Oia, Dek. Selain rumah yang kecil disertai banyak bunga, mas juga membayangkan jika nanti kita punya anak kembar. Satu laki-laki, satu lagi perempuan. Pasti lucu. Di keluarga Adek ada garis keturunan kembar? Kalau mas ada. 🙂

Dek, kamu ndak keberatan, kan? Jika keberatan nanti mas bantuin angkat pakai katrol. (Ups! Itu beda.)

Masih tentang bayangan. Mas juga pengen hidup yang sederhana saja. Tidak perlu hutang, tidak perlu bersikap mewah. Kalau bisa juga ndak perlu ada masalah. Lancar-lancar aja usaha kita. Pekerjaan kita. Jangan kena gempa, banjir atau tanah longsor. Hidup bahagia dengan menjadi warga yang biasa-biasa saja. Wah, baru membayangkannya saja sudah enak ya. Apalagi bisa betulan.

Sayangnya hidup tidak bisa semudah itu dijalani ya, Dek. Hidup akan selalu disertai masalah dan berubah-ubah.
Misalnya tentang tempat favorit.

Dulu, waktu mas kecil, sangat amat menyukai Menara Eifel. Sekarang masih suka. Hanya saja lebih menyukai Bianglala. Mas pengen naik bianglala yang ada di Dubai hanya karena habis membaca artikel. Aneh, kan? Semudah itu.

Dek, masih ingat saat mas cerita soal service lampu? Sebenarnya waktu itu mas belum selesai cerita. Masih ada hal lucu di sana. Jadi, pas selesai membayar dan hendak pulang, tangan mas ditarik si Bapaknya. Ditawarilah mas sebuah pembiayaan asuransi. Bapaknya antusias dan menggebu menjelaskan. Setelah bicara panjang, akhirnya dia memberikan kartu nama kepada mas. Kuambil dan tersenyum pamit. Kalau mau jujur mas bisa saja langsung menolak, tapi tidak mas lakukan. Kenapa? Soalnya mas juga agen asuransi. (Hahaha.) Duh, rasanya kesal bin sebal jika sedang bicara tapi tak diacuhkan. Jadi nanti jangan sampai berani-berani mengabaikanku ya, Dek. 🙂 (Eh, di mana lucunya coba?)
Dek, sampai di sini dulu suratnya ya. Sampai ketemu nanti. Di waktu yang tepat. Di kejadian yang tepat. Dan di suasana yang indah. Eh kok ndak suasana yang tepat juga? Ya, terserah mas dong. Kan, mas yang nulis. 😛


Oh iya, Dek. Ngomong-ngomong soal tepat tidak tepat. Mas jadi ingat sesuatu. Beberapa waktu lalu seorang ahli kesehatan berpesan padaku supaya tidak boleh makan telat. Perutku sedang bermasalah. Juga mataku. Jadi musti dijaga baik-baik. Saat itu aku sih, hanya tersenyum dan mengiyakan. Tahu sendiri kan mereka kalau dibantah bisa berubah jadi makhluk paling cerewet sedunia. Tapi sebenarnya aku tidak mengerti, Dek, tentang telat makan itu. Kalau shalat sih jelas waktu mulainya kapan, selesainya sampai kapan. Bisa ketahuan telat atau tidaknya. Nah, kalau makan itu waktunya kapan, Dek? Ada yang bilang harus tiap enam jam perut diisi, tetapi saat puasa, mas tidak makan dua belas jam baik-baik saja. Tidak lapar, juga tidak haus. Juga saat sedang memikirkanmu. Khawatir akanmu. Mana enak dibuat makan. Jadi bingung, kan?

Dek, jika sudah tahu jawabannya segera beritahu aku ya.

Se-ge-ra.

Apa? Kamu memintaku bertanya kepada si ahli itu? Ah, kan sudah kubilang kalau dia itu cerewet. Aku nggak mau. Lagipula sebenarnya aku periksa itu karena dadaku sering nyeri. Aku takut itu sebuah penyakit mematikan atau apa? Aku takut mati duluan sebelum mengenalmu. Eh, dia malah bilang, normal. Tidak ada yang sakit. Kecuali perut dan mata. Nah, pas aku membantahnya malah dikira mulai menggodanya. Dibilang grogi dekat wanita cantiklah. Apalah-apalah.

Huh! Sebal.

Eh, di sini sudah Maghrib. Sudah dulu ya. Kali ini mas beneran pamit. Sampai jumpa di surat kedua. 🙂

 



Di Panggang, 30-09-2016

Surat ini diikutkan dalam event menulis surat untuk calon pasangan. Dan alhamdulillah aku menang juara terakhir. Juara kesebelas.
Dan ini penampakan hadiahnya.


0 komentar:

Posting Komentar