Senin, 17 April 2017

Filled Under: , , , ,

                                                                  Oleh : Havidz Antonio




Jika disuruh menuliskan semua prestasinya dibidang literasi, wah, bisa-bisa satu buletin ini penuh. Memenangi berbagai lomba baik lokal maupun nasional, karyanya tersebar di berbagai media koran dan majalah, termaktup dalam berbagai antologi cerpen. Dan karya terbarunya sekarang adalah sebuah kumcer berjudul, "Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya (UNSA Press, 2016)". Lelaki yang menyukai musisi Ebiet G. Ade dan group band Letto ini selalu murah senyum pada siapa saja.


Siapakah lelaki itu?

Yap! Dia adalah Nur Hadi atau akrab dipanggil Mas Adi Zamzam. Lahir di desa Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara, pada 1 Januari 1982. Pertama kali jatuh hati dengan dunia literasi (terutama sastra) adalah ketika teman beliau--Agus Prayoga yang ketika itu mondok di Pesantren Gontor Jatim--sering pulang dengan membawa ‘oleh-oleh’ Majalah An-Nida. Itu adalah majalah remaja Islami yang sebagian besar isinya berupa cerpen (kisah inspiratif).

Sebelum berani mengirimkan karya ke media cetak, sekitar tahun 2002 merupakan masa-masa Mas Adi Zamzam menulis tanpa tujuan. 

"Bejibun puisi yang saya tulis ketika itu hanya berani saya kirimkan ke acara Bahana Sastra-nya Radio RRI Semarang Pro II. Tentu saja sembari terus membaca karya-karya para pendahulu. Titik cerah baru terlihat ketika mendapatkan juara harapan di Lomba Menulis Cerpen Islami di Majalah UMMI (2004).Orang se-Balaidesa sempat riuh ketika itu, lantaran mereka membuka dulu hadiah yang dikirimkan," ungkap lelaki berkacamata sambil tertawa saat mengenang masa lalunya.

Meski saat itu beliau masih memakai mesin ketik manual (barang pinjaman pula), tapi beliau sudah memantapkan niat untuk terjun ke dunia tulis-menulis. Beliau pun mulai membuat kumpulan kliping naskah-naskah  literasi di koran-koran yang dibeli. Dari situlah beliau menekunkan diri untuk belajar. Tahun 2010 ketika akhirnya mampu membeli komputer dan bertemu kembali (di jejaring sosial Facebook) dengan kawan-kawan seangkatan di Majalah An-Nida yang lebih dahulu go nasional—salah  satunya adalah Guntur Alam, beliau diajari untuk melanglang ke koran-koran.

Tentu saja perjalanan Mas Adi dalam dunia literasi tidak mulus begitu saja. Banyak hambatan menjagal, tetapi justru dari pengalaman itulah beliau banyak belajar. Misalnya saja, dalam soal mengurus honor di media, terkadang karena kesalahan teknis atau hal lain honor tidak bisa segera cair. Hal ini bisa diatasi dengan memperbanyak akses pertemanan. Kemudian penolakan dari media. Sepertinya semua penulis akan melewati fase ini.  Dan tentu saja hal tersebut bisa diatasi dengan semakin memperbanyak mengirim karya. Semakin banyak karya yang dikirim semakin besar peluang agar dimuat. Banyak-banyakin aja sabar dan penguatan mental. Ada lagi konflik argumentasi antar penulis mengingatkan bahwa harus lebih bisa menjaga diri. 'Ejekan’ dari orangtua saat awal-awal dulu, tapi kini malah sudah mendukung, dan hambatan paling utama adalah bagaimana membagi waktu antara keluarga, pekerjaan, dan menulis.

Dahulu Mas Adi pernah bercita-cita menjadi guru lho, Sobat AMJ. Hal itu pernah tercapai meskipun sekadar menjadi guru Madrasah Diniyah selama beberapa bulan. Setelah tahu bahwa berlakon sebagai guru betulan itu susah--lebih tepatnya berat, keinginan itu akhirnya kendur. Mas Adi juga pernah menginginkan menjadi penulis besar, tetapi itu ternyata tidak semudah yang diharap. Cita-cita pun kemudian menjadi sesuatu yang absurd bagi beliau. Ayah dari Embun itu akhirnya memutuskan cita-citanya, "Biar mengalir saja mengikuti alur kehidupan."

Mas Adi juga punya tips menulis efektif lho. Apakah itu? Kata beliau, "Baca, baca, baca, lalu menulislah. Singkirkan teori-teori menulis yang bikin takut menulis itu. Lalu menulislah saja! Pengiriman ke media massa bisa dijadikan barometer—apakah hasil belajar kita selama ini sudah memadai atau belum."

Penulis dan karya tulis yang baik menurut Mas Adi Zamzam.

Menurut Mas Adi, jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya subyektif sekali. Tergantung siapa yang jawab. Ujarnya, "Penulis yang baik adalah yang karya-karyanya bagus secara literer, tidak sombong, tidak pelit berbagi ilmu, ada kesesuaian antara laku dengan tulisan, dsb. 

"Sedangkan kategori karya yang baik ya… tentu ia yang meraih perhargaan kepenulisan, best seller--meski tak semua karya best seller bagus--, terutama mampu memotivasi pembaca untuk mengubah diri menjadi lebih baik."

 Semoga sahabat AMJ bisa menjadi penulis dan menghasilkan karya tulis yang baik.

Berhubung bulan Februari katanya bulan identik akan cinta dan kasih sayang.  Tim Buletin AMJ sedikit kepo, nih. Bagaimana kisah asmara Mas Adi? Bagaimana cinta pertamanya? Pernakah ia patah hati? 

Begini jawaban beliau, "Huahahaha… enggak mau jawab ah! Yang pasti pernah patah hati. Ditolak cewek juga pernah! Rasanya ya… aku obati pakai menulis :-p Kalau mau cerita lengkapnya, main ke rumah saja ya… cut!"

Bagi semua orang pasti ada orang-orang yang berjasa dalam perjalanan kehidupan mereka. Tak terkecuali bagi peraih penghargaan juara satu GreenPen Award tahun 2016 ini. Mereka adalah Alm. Bapak Umar Mansur, beliau yang menyekolahkan Mas Adi hingga bangku MA. Bapak Sayid Imron (Impong), beliau yang meminjami mesin ketik. Guntur Alam, yang mengajari menulis ke koran. Bpk. Muhammad Alfan, guru ngaji. Dan terutama—tentu saja, kedua orangtua Mas Adi.

Harapan Mas Adi kedepannya untuk AMJ.

"Harapan ya? Mmm… sepertinya…  saya berharap tahun depan sudah ada yang bisa menggantikan tugas saya :D Harapan selanjutnya adalah semoga banyak yang mendapatkan manfaat dari sharing-sharing ilmu itu, hingga lahirlah generasi penulis yang lebih baik lagi," tukas Beliau.

Bagi sahabat AMJ yang ingin tahu lebih lanjut tentang lelaki yang murah senyum ini bisa mengunjungi blog pribadinya di https://langitsemestacerita.blogspot.com.

Salam literasi. Bersuluh literasi kami menerangi dunia.

0 komentar:

Posting Komentar