Oleh Susi Ernawati
Musala kecil di sebelah depot bus Mangga Besar itu selalu
menunggu. Menawarkan ketenangan dan tempat beristirahat. Memberikan kenyamanan;
bagiku, dan bagi banyak lagi perantau di Jakarta. Usai berada di dalam bus yang
dingin menusuk tulang, aku mandi di sana untuk menormalkan suhu badan. Salat
Subuh berjamaah dengan orang-orang yang tak kukenal sambil sesekali menyadari
lirikan ingin tahu.
Sampai lima tahun lalu, jelang Subuh, biasanya kubisa
temukan loper-loper koran yang mengambil jatah harian. Pada mereka kuberi tegur
sapa, lalu percakapan hangat pun tercipta. Ditemani secangkir kopi, kami bisa
bicara apa saja. Sebelum pukul lima, kami berpisah, masih tanpa saling bertanya
nama. Luar biasa.
Entah ke mana mereka sekarang. Mungkin telah tergusur. Di
Jakarta, apa saja bisa terjadi. Maka, aku pun terpaksa berkawan dengan Android
sambil menanti senyum matahari. Jakarta pada dini hari bukanlah tempat yang
ramah. Menanti matahari adalah caraku membentengi diri. Aku tak berani naik
bajaj pada dini hari. Tidak, terlalu riskan bagiku yang melakukan perjalanan
seorang diri. Seorang udik bertualang di ibukota? Kubayangkan adegan film
Kabayan Saba Kota sambil tertawa. Meski ada Gojek, Uber, dan Grab yang
berjejaring, isntingku menyatakan, terang lebih baik daripada gelap. Apalagi di
ibukota. Meski setahun sekali aku datang sebagai bloger, tetap saja, Jakarta
adalah misteri. Benteng terbaik di perjalanan adalah, insting bertahan kita.
Pernah aku naik bus sebelum jam enam. Kulihat ada anak
perempuan kecil yang tidur lelap di dashbor bus, sementara bapaknya menyetir,
menembus lalu lintas kota. Hangat matahari pagi pasti terasa di kulitnya. Juga
saat jalan berlubang membuat tubuhnya tersentak. Namun ia kembali tidur, seakan
semua hanya mimpi. Gadis kecil itu telah bermanifestasi dengan lingkungan.
Mungkinkah mereka tak punya rumah? Pikirku. Lalu, saat kondektur wanita
setengah baya mendekat, aku pun maklum. Jakarta, kau memang punya banyak
cerita. Seperti kisahku di setiap menanti matahari di Jakarta sebelum memulai
acara bloger sesungguhnya.
Aku punya keyakinan yang dibantah beberapa teman. Mungkin
mereka benar, tapi aku juga tidak salah. Di Jakarta, aku selalu bertemu
orang-orang ramah. Mereka penunjuk jalan yang baik. Pendapatku ini dibantah
teman-teman dengan beragam berita yang beredar. Aku bertahan. Kita, adalah
penentu perjalanan. Jika kita siap,
perjalanan akan nyaman. Tetapi, aku pun sadar, insting bertualangku memang
telah lama terpasang. Maka, sekali lagi kukatakan, Jakarta, aku siap datang.
Dan perjalananku pun membawa sejuta kisah.
Bagaimana menurutmu?
0 komentar:
Posting Komentar