Senin, 17 April 2017

Filled Under: , , , , , , , , , , ,

Dan Perjalananku Pun Membawa Sejuta Kisah



Oleh Susi Ernawati

Musala kecil di sebelah depot bus Mangga Besar itu selalu menunggu. Menawarkan ketenangan dan tempat beristirahat. Memberikan kenyamanan; bagiku, dan bagi banyak lagi perantau di Jakarta. Usai berada di dalam bus yang dingin menusuk tulang, aku mandi di sana untuk menormalkan suhu badan. Salat Subuh berjamaah dengan orang-orang yang tak kukenal sambil sesekali menyadari lirikan ingin tahu. 


Sampai lima tahun lalu, jelang Subuh, biasanya kubisa temukan loper-loper koran yang mengambil jatah harian. Pada mereka kuberi tegur sapa, lalu percakapan hangat pun tercipta. Ditemani secangkir kopi, kami bisa bicara apa saja. Sebelum pukul lima, kami berpisah, masih tanpa saling bertanya nama. Luar biasa.

Entah ke mana mereka sekarang. Mungkin telah tergusur. Di Jakarta, apa saja bisa terjadi. Maka, aku pun terpaksa berkawan dengan Android sambil menanti senyum matahari. Jakarta pada dini hari bukanlah tempat yang ramah. Menanti matahari adalah caraku membentengi diri. Aku tak berani naik bajaj pada dini hari. Tidak, terlalu riskan bagiku yang melakukan perjalanan seorang diri. Seorang udik bertualang di ibukota? Kubayangkan adegan film Kabayan Saba Kota sambil tertawa. Meski ada Gojek, Uber, dan Grab yang berjejaring, isntingku menyatakan, terang lebih baik daripada gelap. Apalagi di ibukota. Meski setahun sekali aku datang sebagai bloger, tetap saja, Jakarta adalah misteri. Benteng terbaik di perjalanan adalah, insting bertahan kita.

Pernah aku naik bus sebelum jam enam. Kulihat ada anak perempuan kecil yang tidur lelap di dashbor bus, sementara bapaknya menyetir, menembus lalu lintas kota. Hangat matahari pagi pasti terasa di kulitnya. Juga saat jalan berlubang membuat tubuhnya tersentak. Namun ia kembali tidur, seakan semua hanya mimpi. Gadis kecil itu telah bermanifestasi dengan lingkungan. Mungkinkah mereka tak punya rumah? Pikirku. Lalu, saat kondektur wanita setengah baya mendekat, aku pun maklum. Jakarta, kau memang punya banyak cerita. Seperti kisahku di setiap menanti matahari di Jakarta sebelum memulai acara bloger sesungguhnya.

Aku punya keyakinan yang dibantah beberapa teman. Mungkin mereka benar, tapi aku juga tidak salah. Di Jakarta, aku selalu bertemu orang-orang ramah. Mereka penunjuk jalan yang baik. Pendapatku ini dibantah teman-teman dengan beragam berita yang beredar. Aku bertahan. Kita, adalah penentu  perjalanan. Jika kita siap, perjalanan akan nyaman. Tetapi, aku pun sadar, insting bertualangku memang telah lama terpasang. Maka, sekali lagi kukatakan, Jakarta, aku siap datang. Dan perjalananku pun membawa sejuta kisah.

Bagaimana menurutmu?


0 komentar:

Posting Komentar