Oleh : Havidz Antonio
Tak mudah untuk mengakui bahwa jantung
hatiku telah pergi. Rasanya baru kemarin kita ke pantai dan mandi di sana.
Berenang menerobos ombak dan duduk di atas karang, kaki menjuntai ke dalam air,
mata jauh memandang ke kaki langit. Kudengar gemerisik daun kelapa
mendesau-desau. Angin yang sepoi-sepoi menggelindingkan pasir-pasir putih
seolah butiran mutiara yang disinari cahaya. Namun semua itu hanya salah satu
kenangan indah saat bersamanya.
Kini, dia pergi terlalu cepat. Terlalu
cepat sebelum aku merasakan peluk mesra kehangatannya.
***
“Namaku Gio. Cukup Gio. Aku pindahan
dari SMA 1 Jakarta. Kesan yang menyenangkan bisa berkenalan dengan kalian.
Semoga kita bisa berteman baik dan saling membantu.”
Setelah memperkenalkan dirinya, Gio
dipersilakan duduk di bangku yang kosong. Bangku itu berada di samping bangku
Rini. Rini hanya bisa pasrah bangku itu diduduki Gio. Dulunya bangku itu
diduduki Azzam, yang tidak lain adalah pacar Rini, yang kini telah pergi ikut
orangtuanya ke Italia.
Gio orang yang pragmatis. Ketampanannya
melebihi ketampan cowok lain di kelas itu. Sekarang saja seluruh cewek (kecuali
Rini) di kelas XII IPA 2 itu diam-diam meliriknya. Kulitnya putih dan tampak
bersinar-sinar seperti tersiram cahaya rembulan. Bibirnya merekah indah.
Tubuhnya tegap dan tinggi.
Seluruh cewek di kelas itu gempar. Semua
mata cewek di situ tersihir dengan ketampanan Gio. Rini juga terpesona, tapi
dia bukan tipe cewek yang bakal jatuh hati dengan sekali pandang. Apalagi dia
masih menyimpan rasa pada seseorang yang tempat duduknya sekarang diambil alih
oleh Gio.
Banyak yang memandang iri pada Rini yang
bisa duduk di samping Gio. Tapi Rini sendiri biasa saja. Meski tidak bisa
dipungkiri, Gio adalah cowok tertampan yang pernah dilihatnya. Namun toh Rini
tidak berniat untuk mendekati Gio. Karena hatinya masih tertambat pada sosok
Azzam.
Ketika jam istirahat, Rini seperti
mendapat durian runtuh. Banyak teman ceweknya memohon-mohon pada dia supaya mau
menukar tempat duduknya. Ada yang mau beri seluruh koleksi kaset lagu India
jika Rini mau. Ada yang sedia mentraktir mie ayam selama sebulan. Pokoknya
macam-macam yang janji, bakal rugi kalau ditolak. Tapi Rini tidak enak hati
dengan teman-temannya.
“Teman-temanku yang cantik. Sungguh
sulit sekali menolak tawaran kalian yang mengggiurkan. Tapi jika aku milih satu
di antara kalian, nanti yang lain iri. Aku tidak mau berat sebelah. Kalian
semua temanku.”
Itu pilihan yang bijak menurut Rini.
***
Saat yang menyenangkan ketika berangkat
sekolah adalah ketika melihat hamparan sawah yang hijau, menghampar bagai
beludru, membentang di kiri-kanan jalan. Tempat tinggal Rini berada di kawasan
pedesaan yang jauh dari polusi asap knalpot dan pabrik. Anginnya masih sangat
sejuk. Pemandangannya begitu ndah. Daun-daun yang masih basah oleh embun.
Burung-burung sawah yang mengincar padi para petani. Dan anak-anak sekolah yang
berangkat sekolah dengan berjalan kaki ataupun naik kereta angin.
Rini berjalan tidak seperti biasanya.
Biasanya dia berjalan bersama Azzam sambil ketawa-ketiwi. Kini dia sendiri.
Suara motor yang tadi terdengar dari
kejauhan tiba-tiba berhenti di belakang Rini. Rini menoleh. Dia tidak menyangka
kalau itu Gio.
“Perlu tumpangan?” kata Gio singkat.
Ketampanan Gio di pagi hari benar-benar
seperti malaikat turun dari langit. Rini bersusah payah agar tidak terlihat
tergoda. Rasanya kalau melihat Gio, Rini bisa melupakan Azzam sesaat.
“Tidak usah, terima kasih,” kata Rini.
Sebenarnya hati kecilnya memberontak, ingin menerima tawaran itu.
“Oh, begitu,” kata Gio singkat. Dia
menghidupkan motornya, sebuah motor tiger yang sebenarnya agak berlebihan jika
dipakai di pedesaan seperti ini.
“Siapa namamu? Kita sebangku, kan?”
“Rini.”
“Sampai ketemu di sekolah, Rini,” ucap
Gio lalu melajukan motornya.
Rasanya ada sesuatu yang berbeda, yang
mendekam ke hati Rini. Rasa apa itu? Rini juga tidak tahu.
***
Meskipun Rini dan Gio duduk bersampingan
tetapi mereka jarang sekali bicara. Selain memang tidak ada topik yang perlu
dibicarakan, Rini juga canggung karena mata teman-temannya tidak mau jauh-jauh
dari Gio.
“Rin, kamu punya catatan yang tadi
dibahas?” kata Gio tiba-tiba. Rini mengangguk.
“Boleh aku pinjam?”
“Boleh.”
Rini mengambil buku catatan fisika dari
dalam tasnya lalu menyerahkan ke Gio. Gio berterima kasih sambil senyum. Senyum
yang benar-benar manis. Rini berusaha untuk tidak bersemu merah. Untungnya Pak
Imron segera datang. Jadi dia punya alasan untuk tidak berlama-lama bicara
dengan Gio.
Jam istirahat Rini mau pergi ke
perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya. Lagi-lagi dia ketemu
Gio. Dan setiap kali bertemu Gio, Rini merasa rasa itu selalu muncul. Mendadak
memori tetang Azzam menghilang.
Gio seperti presiden saja, selalu
dikawal mata cewek-cewek seantero, mulai dari kelas satu sampai penjaga perpustakaan,
Mbak Yeni. Rini hanya mendesah melihat tingkah cewek-cewek itu.
“Ketemu lagi,” kata Gio.
Rini hanya senyum menanggapinya.
“Sedang cari buku apa?” tanya Gio.
“Buku fisika buat tugas tadi. Kamu
sendiri cari apa?” Rini tanya balik sambil curi-curi pandang pada cewek-cewek
yang ngekorin Gio. Rini tidak mau nanti digantung sama fans-fans Gio itu.
“Sama.”
Ternyata buku fisika yang sedang mereka
cari cuma tinggal satu. Itu pun mereka dapetinnya bareng.
“Buat kamu saja,” kata Gio.
“Nggak usah, buat kamu saja. Kamu anak
baru kayaknya lebih butuh.”
“Oke, kita pakai bersama saja. Saling
gantian,” kata Gio.
***
Saat pulang sekolah, tiba-tiba kaki Rini
kesleo. Rasa sakitnya sampai bikin Rini jalan terseok-seok. Untungnya ada Gio
yang tidak sengaja melihatnya.
“Ayo bareng,” ajak Gio.
“Eh, nggak usah, terima kasih.”
“Kakimu sakit, lho.”
“Masih bisa jalan, kok.”
“Jangan maksa gitu. Nanti tambah sakit.
Ayo naik.”
Akhirnya Rini kekeuh juga. Dan rasa aneh
itu kembali muncul. Segala tentang Azzam mendadak punah.
Gio mengemudikan motornya tidak
sekencang tadi pagi. Sepertinya dia tahu Rini takut kalau diajak naik motor
cepat-cepat.
Gio mengantarkan Rini hingga sampai di
depan rumahnya.
“Makasih, ya,” ucap Rini tulus.
“Sama-sama. Aku cabut dulu, ya.”
Dalam waktu yang singkat Gio sudah tidak
terlihat lagi. Setelah itu Rini kembali teringat Azzam.
***
Rini paling suka nongkrong di atas pohon
mahoni yang tumbuh di atas bukit hijau. Dulu waktu masih ada Azzam, tempat itu
ramai oleh canda tawa mereka. Sekarang tempat itu sepi. Tinggal kenangan yang
dirasakan Rini. Sore itu Rini ingin menghabiskan waktu untuk mengenang Azzam.
“Melamun sendiri di atas pohon nggak
baik, lho. Mau aku temenin?” Suara seseorang mengagetkan Rini dari lamunannya.
“Gio!!” ujar Rini terkaget. “Kok bisa
sampai sini?”
“Kebetulan saja,” jawab Gio singkat.
“Ada jawaban lain?” protes Rini penuh
selidik.
Gio menaiki tangga tali yang dibuat oleh
Rini dan Azzam dulu. Tahu-tahu Gio sudah berada di samping Rini. Lagi-lagi rasa
itu datang.
“Jadi?” Rini memulai.
“Baiklah,” Gio mengalah. “Sebenarnya aku
ini sepupunya Azzam. Azzam meminta bantuanku supaya menjagamu.”
Rini terperanjat mendengar pengakuan
Gio. Dia jadi ingat Azzam betapa dulu mereka bersama dari kecil. Banyak
kenangan bersama Azzam.
Rini tercenung memikirkan Azzam.
“Apakah nantinya dia akan balik ke
Indonesia?” tanya Rini dengan nada sedih.
“Iya, mungkin,” jawab Gio. “Kamu jangan
sedih gitu.”
“Gimana nggak sedih. Aku sangat sayang
dia.”
“Aku akan nemenin kamu. Jangan sedih
lagi, ya?”
Rini menyadari setelah kepergian Gio,
dia jadi lebih cengeng. Rini yang dulu periang seolah lenyap.
“Aku punya sesuatu untukmu,” Kata Gio.
Dia lalu mengambil sesuatu dari dalam tas yang disandangya.
“Gula jawa,” kata Rini berbinar.
“Kata Azzam kamu suka banget sama gula
jawa.”
Rini mengangguk.
“Terima kasih.”
Rini menerima pemberian dari Gio itu.
Dia senang.
Rasa itu perlahan-lahan tumbuh dalam
hati Rini. Perasaan seperti yang sama dirasakannya ketika bersama Azzam.
“Gio.”
“Iya?”
“Terima kasih.”
Gio senyum.
*** Cerpen ini dubuat tahun 2009/2010. Cerpen ini terinspirasi dari lagunya Band Viera
yang judulnya sama dengan dengan judul cerpen. Sekarang Band Vierra ganti nama
jadi Vierratile. (Havidz Antonio)